Bagian 18

1.1K 115 79
                                    

Setelah keluar dari ruang meeting di sayap kanan lantai dua kantor Nevan, laki-laki itu langsung menuntun Raline untuk memasuki ruangan lain di sayap kiri.

Baru saja masuk ke dalam ruangan kaca itu, Raline langsung terperangah. Disini lah dunia Nevan sebagai arsitek berada.

Ruangan itu penuh dengan berbagai macam miniatur. Mata Raline tak bisa melepas pandangan dari desain-desain yang ada di miniatur tersebut.

Satu kata. Keren.

Raline pernah bercita-cita jadi arsitek demi membangun rumah impiannya, namun itu hanya cita-cita yang harus ia pendam karena dirinya sadar kalau tidak pandai menggambar. Selain itu, Raline lebih pandai di bidang akademis seperti belajar.

Memang Raline lebih cocok jadi dokter. Dia tidak memiliki sisi kreatif dalam dirinya.

Makanya ketika melihat isi ruangan ini Raline tidak berhenti kagum. Termasuk mengagumi seseorang yang menciptakan puluhan bahkan ratusan miniatur yang ada di sana.

"Sepertinya kamu lebih suka ngelihatin miniatur-miniatur ini daripada aku," kata Nevan sambil terkekeh pelan.

Raline berbalik menghadap lelaki itu. Mengabaikan perkataan Nevan, Raline malah berkata, "Kamu orang berbakat Nev, proud of you."

Nevan tersenyum mendengar pujian Raline. "Dibantu sama tim aku juga, Ra," sahutnya merendah. Kemudian, ia menuntun perempuan itu untuk mengelilingi ruangan tersebut.

"Jadi.. nggak hanya rumah, tapi kamu juga partisipasi dalam pembangunan hotel, villa dan restoran?" tanya Raline.

"Iya, Kalandra Group kan bisnis yang bergerak dalam bidang properti, makanya aku masih kerja sama dengan perusahaan keluarga," jelas Nevan. "Papa paling semangat waktu tau aku ambil kuliah jurusan arsitek."

"Sekarang aku lagi ngerjain proyek hotel baru Kalandra Group, berbarengan sama pembangunan rumah aku sendiri," lanjut Nevan lagi.

"Aku pernah pingin jadi arsitek." Raline mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya jadi arsitek dulu kala.

"Kenapa enggak kuliah arsitek?"

"Kayaknya nggak bakal lulus kalau kuliah arsitek." Raline tertawa geli membayangkan betapa tersiksanya ia jika harus menjunjung tinggi kreativitas saat kuliah arsitek.

"Kalau kamu kuliah arsitek, bisa jadi kita satu kampus dan satu kelas ya, Ra?" tanya Nevan sembari menerawang kemungkinan itu.

"Kalau kita sama-sama terus, aku nggak akan bisa yakini hati aku. Tujuan aku pergi kan untuk memastikan kalau aku juga sayang sama kamu."

"Hah? Gimana, Ra?"

Raline berjalan menuju ke kaca yang menghadap jalan raya. Dia bersedekap sembari melihat kendaraan yang berlalu-lalang. "Karena jauh dari kamu, aku jadi tau kalau aku sayang sama kamu. Tanpa Farel aku biasa aja, waktu Danial jauhin aku karena aku tolak juga aku biasa aja, tapi saat jauh dari kamu rasanya sepi banget."

Sekali lagi Raline berhasil membuat Nevan terbang tinggi hanya karena mendengar kalimat sederhana yang keluar dari mulutnya.

Nevan tidak tahan untuk berjalan mendekat dan memeluk pinggang Raline dari belakang. "I love you, Raline Deolinda."

"Ra, kasih tau aku kalau kamu udah siap jadi pendamping hidup aku, ya. Tolong jangan pergi lagi dari aku."

"Sabar ya Nev, sebentar lagi. Kita masih perlu meluruskan banyak hal. Aku dan kamu juga perlu yakin untuk masuk ke fase selanjutnya. Pernikahan bukan hal mudah, aku mau punya suami yang bisa nemenin aku seumur hidup, bukan hanya beberapa tahun aja. Makanya kita harus cepat meluruskan beberapa kesalah pahaman."

Revoir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang