Bagian 27

1.1K 109 32
                                    

Sebesar apapun usahaku, jika kamu tidak menginginkanku, aku bisa apa?

***

"Senang berbisnis dengan Anda."

Nevan berdiri dari duduknya, lantas membalas uluran tangan pria paruh baya yang ada di depannya dengan senyum mengembang sempurna.

"Saya permisi dulu." Lelaki paruh baya itu—pengusaha beton yang bekerja sama dengan Nevan sejak awal ia merintis karir jadi arsitek—langsung berlalu dari hadapannya.

Merasa butuh merilekskan diri sebelum kembali ke meja kerja yang sangat menyibukkan, Nevan memilih kembali duduk. Sebentar saja. Menghilangkan penat.

Kini ia berada di sebuah restoran bintang lima yang memang dipilihnya untuk menjadi tempat berdiskusi dengan pengusaha beton tadi. Restoran itu letaknya di tengah-tengah antara kantornya dan kantor si pengusaha beton.

Nevan duduk diam, pikirannya terasa penuh. Memikirkan tentang pekerjaannya yang sedang menumpuk ditambah proyek pembangunan rumahnya sendiri dan Raline.

Mungkin, jika pikiran itu diibaratkan bola yang ada di dalam balon sebagai otaknya, sudah sejak lama otak Nevan pecah.

Ibarat istilah biologi hal itu biasanya disebut lisis, peristiwa pecah atau rusaknya integritas membran sel dan menyebabkan keluarnya organel sel tersebut.

Mata Nevan bergerak mengamati sekitarnya, setidaknya ia pikir matanya harus diolahragakan pula sebelum terus menatapi layar komputer sepanjang malam.

Sialnya, bukan menjadi rileks, Nevan mendadak kalut saat mendapati seseorang sedang tertawa riang di bagian sayap kanan restoran, jauh bersebrangan dengan tempatnya duduk.

Tawa itu adalah tawa yang paling Nevan suka. Dia pernah berharap kalau sepanjang hidupnya ia akan selalu mendengar tawa nyaring itu, dia juga pernah berharap kalau si pemilik tawa bisa ia buat tertawa sekeras itu juga nantinya.

Tawa itu milik Raline—gadis kesayangannya yang kini duduk satu meja dengan mantan kekasihnya dan seorang wanita paruh baya yang Nevan tebak adalah Bunda Farel.

Nevan memang tahu soal Raline yang dekat dengan keluarga lelaki itu, lagipula orang tua mana yang tidak suka dengan sifat baik Raline dan tidak ingin menjadikannya menantu?

Sepertinya hanya orang tuanya.

Emosi Nevan kian memuncak saat melihat Farel mengelus puncak kepala Raline. Dia berdiri dari duduknya untuk segera menghampiri mereka. Namun, sebelum langkah Nevan menjauh dari mejanya sendiri, suara seseorang menginterupsi membuat pergerakan Nevan terhenti.

"Bang Nevan."

Pandangan Nevan beralih pada Yoga—adik Syanin yang baru datang dari arah kirinya sambil menggendong putrinya yang berumur satu tahun.

Nevan menaikkan sebelah alisnya tanda bertanya.

"Enggak papa," ujar Yoga yang mengerti raut wajah Nevan. "Tadi aku lihat Abang, makanya negur."

"Lo apa kabar?" tanya Nevan basa-basi. Padahal meski sedang berbicara dengan Yoga, jiwanya tidak di sana. Dia sibuk memikirkan Raline di meja lain.

Revoir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang