Bagian 12

1.2K 115 57
                                        

Danial sedikit menyembulkan kepalanya dari balik pintu ruang kerja Nevan, memastikan kalau bosnya ada di dalam ruangan itu.

Setelah melihat keberadaan Nevan yang duduk di depan komputer berlogo apel digigit, Danial membuka lebar pintu ruangan itu untuk masuk.

Suara pintu yang dibuka oleh Danial tidak mengusik Nevan. Laki-laki itu tetap fokus pada layar komputernya dengan sebelah tangan yang bergerak lincah di atas mouse.

Sebelum membuka suara, Danial berdeham singkat. Entah kenapa setiap melihat ekspresi serius Nevan di depan layar komputernya seperti ini selalu membuatnya gugup.

Meskipun mereka berteman sejak kuliah, tapi tetap saja aura pemimpin Nevan berkobar di saat-saat seperti ini hingga membuat Danial segan.

"Kenapa?" tanya Nevan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.

Danial semakin gelagapan dibuatnya. Kalimat yang tadi sudah ia rancang dan hampir keluar dari mulutnya, kini sudah berantakan.

Menyadari ekspresi Danial, Nevan akhirnya beralih menatap teman sekaligus asistennya itu. Dia bersandar pada kursi kerjanya, mencoba bersikap santai agar Danial ikut rileks.

"Bos, beneran mau nolak kerja sama dengan Bu Amanda?" Akhirnya Danial membuka suara.

Nevan mengangguk mantap.

"Kenapa? Bukannya dia salah satu klien kita yang paling setia?" tanya Danial. Dia bingung karena tiba-tiba Nevan tidak menerima ajakan kerja sama dengan salah satu klien setia mereka. "Dia sudah sering pakai jasa kita. Mulai dari pembangunan rumahnya, restorannya dan villa-nya."

"Gue lagi fokus sama pembangunan rumah gue sendiri, Dan. Lo juga tau sendiri kalau perusahaan keluarga gue bangun hotel lagi dan semua desain diserahkan sama kita."

"Lagi pula gue nggak nolak kerja sama dengan Amanda, gue hanya bilang kalau pembangunan restoran cabangnya kali ini akan diambil alih sama salah satu karyawan kepercayaan gue, yaitu lo," lanjut Nevan.

Danial menghela napas kasar. "Tapi, dia cuma mau sama lo."

"Gue udah bilang kalau dia mau sama gue, resikonya pembangunan restoran cabang itu diundur. Dan, dia nggak setuju," kata Nevan lagi. "Jadi, terpaksa gue tolak kerja samanya."

Mendengar jawaban dari Nevan membuat Danial berdecak pelan. "Si Amanda itu maksa biar pembangunan restoran cabangnya ditangani langsung sama lo karena dia naksir lo, biar modus tuh bisa ketemu lo sering-sering."

Nevan mengedikkan bahunya. "Gue nggak peduli."

"Masa lo nggak nyadar?"

"Gue sadar. Tapi, gue nggak anggap dia lebih dari klien setia aja. Kalau kerja sama gue, gue akan menjunjung tinggi profesionalitas dan mengesampingkan masalah pribadi."

"Ya, ya, ya," sahut Danial seadanya. "Ngomong-ngomong, kenapa lo mendadak bangun rumah?" tanyanya penasaran.

"Orang yang gue tunggu udah balik, gue nggak mau melewati kesempatan berharga lagi."

Danial mendaratkan bokongnya di sofa bed ruangan Nevan ketika menyadari suasana sudah lebih santai. Mereka bukan lagi membahas pekerjaan. "Maksud lo Raline?"

"Siapa lagi?" tanya Nevan balik.

"Nev," panggil Danial.

Nevan mengangkat sebelah alisnya, heran mendengar Danial memanggil namanya. Biasanya laki-laki itu memanggil dengan panggilan 'Boss' jika mereka sedang di kantor, meskipun tidak berbicara secara formal.

Beberapa detik Nevan menunggu, akhirnya Danial melanjutkan ucapannya, "Gue bilang ini sebagai teman, bukan sebagai bawahan lo. Raline sayang banget sama lo."

Revoir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang