6. Takdir

363 69 5
                                    

"Bagaimana aku bisa membantumu mengembalikan ingatan Taehyung? Sedangkan aku tidak tahu apa yang telah dia lalui selama 10 tahun setelah SMA?" Joohyun menatap Jimin penuh tanya.

"Jika kau butuh cara instan. Mungkin kau bisa membawa Taehyung menemui istrinya yang koma. Kupikir itu jauh lebih membantu." Joohyun mencoba mengusulkan sesuatu yang lebih masuk akal selain menjadikan dirinya umpan untuk memancing ingatan Taehyung agar kembali sepenuhnya.

"Tidak bisa seperti itu, Joohyun. Mereka bilang untuk mengembalikan ingatan Taehyung dibutuhkan waktu. Aku tidak bisa membawa Taehyung menemui Sooyoung begitu saja." Jimin melipat tangan di dada dan menyandarkan punggung ke kursi.

"Dalam pikiran Taehyung saat ini, dia adalah siswa SMA dan Sooyoung adalah kekasihnya. Bukan istrinya. Dan sekarang Taehyung berpikir kau adalah teman sekolah kami. Aku hanya butuh kerjasama darimu, Joohyun. Berpura-puralah menjadi teman kami yang mengunjungi Taehyung setiap hari." Jimin membara saat mengatakan idenya pada Joohyun.

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Hanya menemaninya? Kau pikir dengan begitu ingatan Taehyung akan kembali sedikit demi sedikit?"

"Apa kau menolak?" Jimin menjawab pertanyaan Joohyun dengan pertanyaan baru.

"Bukan begitu, aku punya suami. Punya hidupku sendiri, Jimin. Aku tidak mungkin di sini sepanjang hari untuk merawat Taehyung. Aku akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahanku pada Taehyung. Tapi jika seperti kemauanmu. Aku tidak bisa, aku tidak bisa berbohong menjadi teman sekolahnya atau apa pun--"

"Kau masih peduli dengan suamimu meski dia sering memukulimu?" Pertanyaan Jimin membuat Joohyun terdiam.

"I-itu bukan urusanmu," ucap Joohyun terbata.

"Baiklah, jika itu keputusanmu. Aku tidak ingin memaksa terlalu jauh." Jimin mengangguk, dia sadar bahwa Joohyun punya kehidupan sendiri dan mungkin terlalu tidak mungkin jika dia harus membantunya merawat Taehyung.

"Maafkan aku, Jimin. Jika ada hal lain yang bisa aku bantu seperti biaya rumah sakit atau apa pun. Aku akan membantu."

"Tidak, tidak. Kami tidak membutuhkan itu. Baiklah, Nona Im." Jimin beranjak dari duduk. "Terima kasih atas waktunya, aku harus kembali ke kantor." Jimin sempat melemparkan senyum pada Joohyun sebelum pergi meninggalkannya di kantin.

.
.
.

Joohyun kembali ke kediamannya sebelum petang sambil membawa beberapa belanjaan agar suaminya tidak curiga tentang kepergiaannya seharian ini. Lagi pula, Joohyun sudah berkata pada asisten rumah tangganya pagi tadi bahwa dirinya akan pergi ke supermarket.

Sesampainya di kamar, Joohyun menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Angannya kembali memikirkan Taehyung walau sebenarnya tidak ingin. Hatinya masih bertanya-tanya, apa iya dia harus lepas tangan dari ini? Harusnya setelah menceritakannya pada Jimin dan meminta maaf, hatinya lega dan beban pikirannya terangkat. Lagi pula, Jimin tidak menyalahkannya karena pria itu tahu bahwa apa yang menimpa Taehyung sepenuhnya adalah kecelakaan. Namun, mengapa Joohyun belum juga tenang.

"Joohyun, lupakan pria itu." Joohyun berucap lirih.

.
.
.

Di brangkar Taehyung terlentang menghadap langit-langit kamar rumah sakit. Gelap. Semuanya gelap. Dia mencoba mengucek matanya--seperti menyingkirkan debu--barangkali itu membantu. Namun, sekuat apa pun Taehyung mencoba. Pandangannya tetap saja hitam.

Seminggu yang lalu, dia nekat mengendarai mobil ke sekolah hanya untuk mengajak kencan Sooyoung walau belum memiliki SIM. Namun, gadis itu menolak ajakannya.

"Sooyoung. Aku bawa mobil hari ini, kau ... mau nonton denganku hari ini?" tanya Taehyung malu-malu saat itu.

"Taehyung-ah, maafkan aku. Aku harus membantu ibu menjaga toko. Mungkin lain kali saja, ya." Sooyoung tersenyum tidak enak pada Taehyung sebelum melambai dan pergi.

Our Secret EventTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang