18. BERLIN (1)

171 22 7
                                    

“Jangan lupa ajak aku ke manapun kamu pergi.”

...

Menunggu dan menunggu. Akhirnya hari yang telah Ervan janjikan datang juga. Cowok itu sampai di Indonesia pukul 10 pagi. Dia berjalan sambil melihat ke sekitar bandara barangkali ada yang menjemputnya. Seorang pria berumur setengah abad menghampirinya dan membantunya membawakan koper berwarna hitam milik Ervan untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil.

Cowok itu membuka ponselnya. Dia berniat menelpon Bintang. Setelah panggilan telpon berbunyi, dia mendengarkan suara dering telpon cewek itu. Bukan. Bukan di dalam hape tapi ini nyata. Ervan berbalik badan. Tepat di belakangnya Bintang berdiri dengan memberikan senyuman yang menurut Ervan itu sangat manis.

Cewek itu berjalan mendekati Ervan. Semakin lama langkahnya semakin dipercepat. Dia memeluk tubuh cowok itu dengan sangat erat seakan-akan dia tidak mau kehilangan Ervan lagi.

"Kangen," gumam Bintang dalam pelukan.

"Me too," balas Ervan.

Bintang tersenyum geli mendengar jawaban Ervan. Ah, dia sangat merindukan sahabat kecilnya ini. Ya, meskipun baru satu bulan yang lalu dia meninggalkan Bintang, tapi cewek itu sungguh-sungguh merindukannya.

"Kamu baik-baik aja kan?" Ervan melepaskan pelukannya sebentar sambil menatap mata teduh Bintang.

Cewek itu mengangguk.

"Gimana Leo? Dia udah ada bicara sama kamu?" tanya Ervan.

Bintang menggeleng. "Enggak ada. Tapi kemarin aku udah ngomong sama Mamanya. Dan kemungkinan besar minggu depan dia bakalan nikah sama Maudy."

Ervan tertegun. Padahal dulu dia pikir Leo akan menjaga Bintang sama seperti dia menjaga Bintang. Ternyata di dunia ini tidak ada orang yang bisa dipercayai sebesar dia mempercayai dirinya sendiri.

Dulu Ervan pikir Leo tidak akan menyakiti Bintang seperti Angkasa yang menyakiti Bintang, tapi ternyata semua diluar kendalinya.

Bintang menyenggol lengan Ervan agar cowok itu tidak melamun. "Gak papa, mungkin sekarang semesta lagi menunjukkan orang yang benar-benar sayang sama aku dan orang yang cuma mau milikin aku aja."

"Kamu wanita yang kuat, Bin. Aku yakin suatu saat nanti kamu bahagia," balas Ervan.

"Sama kamu contohnya?" tanya Bintang sedikit menggoda.

Ervan mengedikkan bahunya. Dia tidak pernah menjawab pertanyaan Bintang yang seperti itu. Karena dia bukan Tuhan yang tahu bagaimana kita di masa depan. Dia tidak tahu bagaimana rencana yang telah Tuhan persiapkan untuk di kemudian hari.

"Jadi kapan kita ke Berlin?" tanya Bintang.

"Setelah pernikahan Leo," jawab Ervan.

"Kamu mau datang?" tanya Bintang seperti tidak ingin.

"Bin, bagaimanapun Leo, dia itu tetap teman kita. Aku tahu kamu sakit hati banget sama Leo, aku juga paham perasaan kamu. Tapi kalo terlalu lama kamu simpan, yang ada malah kamu sendiri yang capek," tutur Ervan.

Bintang melihat ke arah lain sebentar. Ya, dia tidak akan bisa menolak ucapan Ervan karena memang yang dikatakan cowok itu memang benar. Masalah sakit hatinya bisa dia simpan sendiri. Dia tidak perlu mengajak orang lain untuk membenci seseorang bukan?

"Tapi setelah itu kita beneran ke Berlin kan? Sesuai janji kamu kan?" tanya Bintang.

Ervan mengangguk. Tangan kanannya tergerak dan mengusap puncak kepala gadis itu dengan gemas. "Tentu saja. Kita akan pergi ke Berlin. Berlama-lama di sana."

Angkasa 2 : Remember YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang