01🌧️

259 55 182
                                    

01. Our First Meet




- Untuk Hujan -



"Hujan! Awas ya kamu sampe makan makanan yang ada di meja makan. Makan makanan yang ada di dapur! Habis itu, cuci piring, sapu, pel semua lantai, jangan sampe ada yang kotor, mau ada tamu, jangan malu-maluin. Ngerti kamu?!"

Hujan yang sedari tadi setia menundukkan pandangannya lantas mengangkat kepalanya, menatap wajah sang Bunda yang sedang menatapnya galak, Hujan mengangguk, "Iya, Bunda."

Sosok yang disebut dengan sebutan Bunda oleh Hujan itu berdecak, "Udah berapa kali sih saya bilang ke kamu? Jangan panggil saya bunda kalo bukan di depan papahmu, saya bukan bunda kamu! Ngerti gak sih?" tanyanya marah.

Hujan mengangguk pasrah, "Iya, tante Alea,"

"Jangan sebut nama saya, gak sudi saya," katanya kemudian pergi meninggalkan Hujan sendirian.

Cowok itu menghela napas berat, selalu seperti ini, Alea hanya berbaik hati dengannya saat ada Sakti, papahnya. Saat tidak ada Sakti, Alea akan berubah seratus delapan puluh derajat, berbanding terbalik.

Hujan melangkahkan kakinya ke arah dapur, duduk di kursi yang ada di sana kemudian mengambil sepiring nasi putih dengan sepotong tempe sebagai lauknya.

Cowok itu tersenyum kecut, tidak ada makanan enak jika papah sedang tidak ada di rumah.

Hujan selalu dibedakan, kakak-kakaknya akan memakan makanan enak di ruang makan, sedangkan dirinya makan dengan sepotong tempe atau terkadang hanya dengan kuah sayur di dapur sendirian.

"Den Hujan..."

Hujan menoleh saat namanya dipanggil, tersenyum ramah pada Bi Ira, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumahnya. "Kenapa Bi?" tanyanya.

"Aden mau bibi buatin makanan? Jangan makan pake tempe doang den setiap hari, gak ada gizinya," kata Bi Ira.

Hujan tertawa pelan, "Tempe ada gizinya kok Bi," jawab cowok itu sambil menunjukkan deretan giginya.

"Tapi enggak setiap hari juga atuh den, ini kalau tuan tau juga bisa-bisa Bibi di marahin disangka gak pernah masak,"

"Gak akan diomelin Bi sama papah, lagian kan gak dibolehin sama bunda," jawabnya.

"Diem-diem aja Den masaknya, biar gak ketauan Nyonya," kata Bi Ira, berusaha membujuk Hujan agar mau dibuatkan makanan, sejujurnya Bi Ira selalu merasa kasihan dengan anak itu karena selalu diperlakukan berbeda oleh Alea, seandainya dia memiliki keberanian untuk menceritakan semua ini ke Sakti, mungkin sudah sejak dulu dia ceritakan.

Hujan tersenyum, "Gak apa-apa Bi," jawabnya.

Bi Ira hampir di buat menangis karenanya, Hujan, anak terkuat yang pernah dia temukan selama ini, anak yang selalu menunjukkan senyumannya walaupun dirinya sedang terluka sekalipun.

Bi Ira kenal sekali dengan anak itu, sejak Hujan masih berumur satu tahun dia sudah mengenalnya. Semua yang dilakukan Alea pada Hujan pun dia juga melihatnya.

"Bi Ira?"

Bi Ira yang sedang melamun jadi menoleh ke arah Hujan yang masih setia menunjukkan senyumannya, "Iya Den?"

Untuk Hujan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang