Kuliah-Kerja-Nyinlok
Sepuluh orang yang dipaksa untuk tinggal satu atap di desa terpencil. Tanpa akses internet dengan bumbu-bumbu perdebatan masalah pribadi di dalamnya. Belum lagi urusan cinlok yang sudah tidak menjadi rahasia umum lagi saat KKN...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I have too much maybe feelings but not gonna lie this new chapter feels so damn good.
—Roselita Caroline
⚪⚪⚪
Senin pagi Rose diawali dengan kejadian yang buruk ketika baru saja turun dari tangga ingin berangkat ke kampus, Mama tiba-tiba datang dengan rambut acak-acakan sambil memegang sebuah pisau tajam.
Butuh banyak tenaga untuk menahan Mama yang lagi-lagi berusaha menyakitinya ketika tak ada seorang pun di rumah—biasanya Mama tidak bangun sepagi itu, juga pintu kamar Mama yang lupa Rose kunci semalam malah membuat Rose terjebak di situasi yang sulit.
Beruntung, setelah menahan Mama selama sekitar lima belas menit, Mama Riri datang bersamaan dengan Wenda yang menjemputnya pagi ini. Mama Riri memang selalu datang setiap hari untuk menjaga Mama yang notabenernya ialah adiknya sendiri. Mama Riri juga mengambil banyak peran di rumah—peran yang semestinya dikerjakan Mama, semua digantikan oleh Mama Riri. Tidak heran bukan mengapa Rose lebih menganggap Mama Riri sebagai ibu kandungnya ketimbang Mama sungguhannya sendiri?
"Huft... untung aja gue tadi sarapan cuma dua sendok..." Wenda menghela napas lega tatkala keduanya sudah berada di mobilnya, siap untuk berangkat.
Kening Rose berkerut, "Maksud lo?"
"Kalo sarapannya dua piring, ya gue pasti telat dateng ke rumah lo. Bisa-bisa pas sampe rumah lo, lo-nya udah dijadiin fruit ninja sama nyokap lo."
Kendati topik tentang kondisi Mama itu cukup sensitif, kalau Wenda yang bicara begitu Rose tidak pernah merasa sakit hati sebab dia sudah terlampau tahu bahwa sahabatnya tersebut tak pernah berniat mengejeknya sedikit pun.
Rose menyimpan totebag-nya ke kursi penumpang, beralih fokus pada tangan kanannya yang menggenggam sapu tangan. Rasa perih mulai menjalari tubuhnya.
"What the heck, lo berdarah?!"
"Lo punya plaster nggak, Nda? Satu bulan nggak ngehadapin Mama, yang tadi itu bikin gue kewalahan banget."
"Gue ada kotak P3K. Tunggu!"
Wenda mencari-cari ke tas penyimpanan berukuran cukup besar yang selalu ada di mobilnya. Mobil baru benar-benar melaju saat Rose berhasil meyakinkan Wenda bahwa dia bisa mengobati lukanya sendiri.
"Besok-besok, lo kalo mau turun tangga ngintip dulu dong dari atas. Kalo nyokap lo lepas, lo turunnya nunggu Tante Riri sampe rumah lo aja."
"Dikira nyokap gue ayam kali pake lepas segala?"
"Hehehe... By the way, kok nggak dijemput Mas Pacar? Gue kira lo mau ke kampus bareng dia loh makanya gue santai-santai aja tadi prepare-nya."