Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kara," panggil laki-laki itu pelan kemudian mendudukkan dirinya di atas kasur Lengkara.
"Ini gue, Sekala," lanjut laki-laki itu.
Sekala mengambil semangkuk bubur di atas nakas yang terletak tepat di sebelah kasur pasien itu. Sama sekali tak ada jawaban yang keluar dari mulut Lengkara.
"Kok gak mau makan, sih?" tanya Sekala.
"Gue suapin, ya." Laki-laki itu mendekatkan sendok yang sudah terisi dengan bubur ke mulut Lengkara. Tangan Lengkara naik menepis kasar sendok yang menyentuh bibirnya, sendok itu langsung terjatuh ke lantai.
"Kenapa gue masih hidup?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Lengkara.
"Kenapa lo semua gak biarin gue mati? Hah!" tanya gadis itu, tangannya naik meraih kerah kemeja Sekala.
Sekala menghela napas pelan. "Jangan ngomong gitu, Kara!" Sekala menaruh kembali mangkok bubur itu ke atas nakas.
Tangannya kemudian naik menghapus air mata Lengkara yang mengalir begitu saja. "Lo harus tetap hidup."
Lengkara menggelengkan kepalanya kuat. "Untuk apa gue hidup, Kal?"
"Kara!" tegur Sekala.
"GUE UDAH GAK BISA NGELIAT!" teriak Lengkara, tangan gadis itu memukul-mukul tubuh Sekala.
"Kar!" Sekala mencoba menahan tangan Lengkara.
"GUE BUTA! SEMUA GELAP! GUE CACAT, KAL!" teriak gadis itu kesakitan.
"MAU SEBERAPA JAUH LAGI LO SEMUA NYAKITIN GUE!"
Sekala menarik tubuh Lengkara masuk ke dalam pelukannya. Gadis itu terisak hebat di dalam sana.
"Tolong, Kal," lirih gadis itu.
"Di sini gelap."
"Tolongin gue, gue takut."
Sekala hanya bisa terdiam, ikut menangis sambil mengeratkan pelukannya di tubuh gadis itu.
Sudah satu bulan lebih semenjak kecelakaan yang terjadi di malam itu. Nyawa Lengkara masih tertolong, walau butuh dibutuhkan proses yang sangat lama.
Sayangnya gadis itu bangun dalam keadaan kehilangan penglihatan. Kecelakaan itu merenggut penglihatan Lengkara. Tiada hari yang Lengkara lewati tanpa menangisi keadaannya.