Lautan lepas tak berbatas menjadi jarak pandangnya sore ini. Kepala yang menyender lesu pada kedua tangan memberikan efek lelah pada wajahnya.
Tak ada yang bisa dijadikan sandaran baginya yang masih terbilang dini, dikala macam macam pikiran buruk berlalu lalang di otaknya saat kesendirian mulai melanda kehidupan.
Pelukan pada kedua kaki semakin erat, disaat angin yang melintasi langit jingga menerpa dan mengelus kulitnya lembut. Dinginnya sore hari tak membuatnya beranjak dari tempat terbuka, yang diinginkan hanyalah ketenangan sementara yang dibutuhkan hati kecilnya.
Sekali lagi ia menekankan bahwa dirinya harus kuat, yang mana pemikiran anak seusianya hanyalah tentang bersenang senang, kali ini ia berusaha meneguhkan raganya untuk siap menjalani hari kedepannya.
Bahkan air mata tak lagi menetes, setelah terkuras habis oleh kesedihan yang mendalam, hatinya tak kunjung tenang meski ia mencobanya sekeras mungkin.
Jari jarinya meremas baju yang tengah ia pakai, bibirnya digigit sekuat mungkin, berharap rasa sakit yang terus menerus menyerang hatinya tanpa henti dapat berpindah walau hanya sebentar.
Figur kecil yang terduduk lesu di depan air laut terlihat menyedihkan, menularkan kesedihan juga keresahannya pada sekitar.
Pukk
Tubuh tersentak pelan, kepalanya perlahan menoleh dengan tatapan mengarah pada pundaknya. Sebuah tangan kecil nan lembut menepuk dirinya hingga tersadar dari lamunan.
Berawal dari tangan, tatapannya beralih pada sang pelaku. Gadis kecil itu melebarkan matanya dengan sirat keingintahuan nya yang tinggi, memiringkan kepalanya bingung.
"Niisan? Sedang apa sendirian di sini?"
~
Matanya berkedip beberapa kali disaat cahaya memasuki penglihatan. Tangannya terangkat, mengucek sebelah mata saat dirasa agak gatal.
Tubuhnya dengan reflek mendudukkan diri, dengan nyawa yang baru terkumpul sebagian, ia baru sadar ternyata sedang berada di rumahnya sendiri.
Helaan nafas dikeluarkan, pria itu menyandarkan diri pada sofa di ruang tamu sembari menutup mata dengan telapak tangannya. Ugh, sepertinya ia ketiduran di sofa karena terlalu lelah, ia bahkan tidak mempedulikan perutnya yang terus memanggil manggil makanan.
Matanya mengintip lewat celah tangan, menatap langit langit ruangan yang masih sama setelah bertahun tahun lamanya. Kini pikirannya tertuju pada suatu hal yang lain, manik matanya melirik ke samping dengan niat mengingat ingat.
'Mimpi itu lagi.' batinnya menghela nafas lelah, salah dua jarinya memijat pelipis yang sedikit pusing akibat tidur di sore hari, terlebih dengan waktu yang cukup lama.
Kenapa, ya? Batinnya bertanya tanya. Akhir akhir ini ia selalu memimpikan hal yang sama, dimana dua anak kecil sedang berkenalan di pantai dengan langit jingga sebagai latar belakangnya.
Ugh, sebenarnya ia sedikit bingung harus berekspresi seperti apa. Ia tidak membenci mimpi itu, tapi mimpi itu yang membuatnya membenci diri sendiri. Benci, karena melakukan suatu kesalahan.
Kringgg... Kringgg...
Tubuhnya kembali menegak saat suara nyaring memasuki indra pendengaran, dengan alis mengernyit bertanya tanya ia bangkit dengan malas untuk mengangkat telepon.
"Siapa sih? Tumben sekali menelpon jam segini," omelnya seorang diri, kesal karena mengganggunya yang sedang mengumpulkan nyawa.
Telepon itu ia angkat dan didekatkan dengan telinga, sejenak menunggu sang penelpon memberi penjelasan, tapi yang didapat hanya sapaan gugup dengan suara gadis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]
FanfictionMenjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku menikmatinya, itu sudah cukup bagi diriku yang pengecut ini. Entah apa yang membuatku menyukai pria berwajah lesu itu. Pria tak bersemangat y...