449 55 3
                                    

"Begitu, ya .... Lalu bagaimana dengan Kei? Apa dia juga ikut pindah?"

"Kei tetap tinggal di Takayama, bagaimanapun juga dia tidak bisa meninggalkan kuliahnya, jadi dia memutuskan menyewa kosan dan tinggal sendirian."

Gadis yang tengah terduduk seorang diri di sofa ruang tamunya yang sepi termenung. Jari-jarinya memainkan liontin pada kalung yang melingkar di lehernya, sesekali ditatap lekat, lalu dialihkan ketika netra kembali memanas.

Tak adanya terdengar suara dari sang gadis, seseorang dari sambungan telepon mulai khawatir, lantas memanggil, "(Y/n)-chan? Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Sang gadis tersenyum getir. Telapak tangannya terangkat, berusaha menutupi mata dengan kantung yang membengkak. "Bagaimana, ya? Bohong jika aku bilang aku baik-baik saja." jawaban tersebut diucapkannya dengan susah payah, ketika bibir bergetar hebat berusaha tuk berhenti.

Terdengar hembusan nafas dari sambungan telepon sana. "(Y/n)-chan, Bibi minta maaf, Bibi benar-benar tidak ingin meninggalkan (Y/n)-chan sendiri, tetapi Bibi juga tak bisa menolak permintaan Ayahnya Fukube."

(Y/n) terisak, kepalanya mendongak ke atas supaya tak ada air mata yang jatuh lagi. "Aku mengerti, aku tidak marah dengan keputusan Bibi untuk pindah, hanya saja," ucapannya menggantung, (Y/n) sibuk menahan cairan bening di pelupuk matanya. "Aku sedikit kecewa karena Bibi tak memberiku kabar sama sekali."

"Jika memang ..., jika memang kita benar-benar tidak bisa bertemu lagi untuk waktu yang lama, aku," kembali terhenti, gadis itu begitu kesulitan untuk melanjutkan. Hidungnya tampak memerah hebat, untuk yang kesekian kalinya menahan tangis. "Aku mengharapkan perpisahan yang lebih baik."

Tak terdengar suara dari sambungan telepon sana, seakan bergeming mendengar nada penuh pilu yang gadis itu keluarkan dari bibirnya. "Maaf," ungkap Hina dari teleponnya. "Bibi tidak bisa mengatakan apapun lagi selain maaf, Bibi pun bingung."

"Sebenarnya Bibi juga ingin sekali bertemu dengan (Y/n)-chan sekali lagi sebelum Bibi pergi, tapi ini keinginan Fukube-kun."

(Y/n) mengerjapkan matanya, mendengar nama Fukube disebut membuatnya bertanya-tanya. "Fukube-kun?"

"Iya, dia bilang ingin menyampaikannya sendiri, dia ingin berbicara banyak dengan (Y/n)-chan sebagai waktu terakhirnya denganmu."

Ah,

Jadi begitu.

(Y/n) mengusap dahinya ke atas, beralih pada cengkraman terhadap kepala dengan kuat. Bibirnya yang bergetar mencipta lengkungan pedih, untuk yang kesekian kalinya (Y/n) dibelenggu pilu yang memuakkan.

Ternyata dirinya sendiri yang membuat perpisahan itu menjadi lebih buruk.

"Bibi Hina, boleh aku berbicara dengan Fukube-kun sebentar?"

Pertanyaan itu tak kunjung terjawab ketika hening mulai menghampiri. (Y/n) menggigit kecil kuku ibu jarinya, merasa cemas kenapa Hina tak lagi bersuara. Apa permintaannya terlalu berat untuk dikabulkan?

"Maaf (Y/n)-chan, Fukube-kun sedang sibuk, dia tidak ingin diganggu."

(Y/n) mengusap wajahnya kasar, sekaligus menghapus jejak air mata yang membuat wajahnya berantakan. Ini sudah terlalu jelas, Fukube menghindar darinya. Kenapa harus begini?

"(Y/n)-chan," panggil Hina dari sambungan telepon dengan lembut. "Tolong berhenti menangis, Bibi tidak bisa berhenti merasa bersalah jika kau tetap seperti ini. Datang dan pergi dalam kehidupan itu normal, jangan tenggelam dalam kesedihan karenanya."

Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang