Seumur hidup,
Aku tak pernah punya keberanian.
“Hahh.” aku mengeluarkan hembusan nafas lelah sembari berbalik, menyandarkan punggungku pada dinding lorong. Sekali lagi, aku merenungi diri, tentang sampai kapan hal ini akan berlanjut.
Kini tanganku beralih menyisir rambut ke belakang, menyingkirkan helaian surai yang menghalangi pandang, sehingga hembusan udara dari jendela bisa menerpa bebas wajahku. Aku bergeming. Pikiranku semakin kacau ketika sadar aku tak bisa seperti ini terus menerus.
Berhenti?
Itukah jawaban yang selama ini kucari?
Benar. Aku tau, lebih dari siapapun. Semakin hari semua ini menjadi lebih mengerikan. Bukankah ini melanggar hak privasi? Mengikuti seseorang? Meski tidak dalam artian sebenarnya. Aku hanya selalu menyempatkan diri untuk mengagumi dirinya dari jauh.Aku menggenggam erat ujung rok sekolahku.
Ini semua semakin menyakitkan setiap harinya.
Bukankah sejak awal aku sudah sadar? Lalu kenapa aku terus keras kepala dengan tetap memperhatikannya? Kumohon, sadarlah, (Y/n)! Kau itu, kau itu, menyukai seseorang yang bahkan tak mengetahui bahwa kau ada di dunia ini! Aku sudah seharusnya menyerah sebelum semuanya semakin menyakitkan.
Aku menghela nafas lelah, lantas berbalik menuju arahnya berdiri tadi. Dia pati sudah pergi, kan? Aku menunduk, tidak berani mengangkat wajahku yang penuh keputusasaan di dalamnya ini. Yang kuperhatikan hanya sepasang kaki yang melangkah berlalu, melupakan, bahwa sebelumnya aku berada di balik belokan.
Brakkkkk
Suara keras dari hantaman tubuh terhadap lantai terdengar kala itu. Rasa sakit mulai menyerang kepalaku yang sepertinya terbentur sesuatu. Mengusap kepala lembut, aku meringis, mataku tertutup dengan sendirinya. Dan di saat yang bersamaan, sebuah tangan terjulur di hadapanku, menawarkan bantuan untukku yang jatuh terduduk di atas lantai.
Kepalaku dengan cepat terangkat, mataku melebar, apa-apaan ini?
Oreki-san, ada di hadapanku?
“Hei, apa kau baik-baik saja?”
Aku bergeming. Pikiranku kacau ketika merasakan perasaan asing dalam pikiranku. Oreki-san. Untuk pertama kalinya, aku mendengar suaranya, yang ditujukan terhadapku?
“Hei, apa kau terluka? Kenapa kau melamun?” suaranya kembali terdengar sehingga berhasil membuatku tersentak, berkedip beberapa kali sebagai reaksi. Aku membalas tatapannya, tetapi belum satu detik aku berhenti melakukannya. Gawat, ini pertama kalinya aku melihat langsung permata hijau itu, jantungku rasanya mau meledak.
“I-iya,” jawabku seadanya. Aku mengangkat tangan, berniat meraih tangan Oreki-san yang terulur di hadapanku. Namun, sedetik kemudian aku tersadar. Oreki-san, menjulurkan tangannya? Aku harus memegangnya? AKU HARUS MEMEGANGNYA?!
“Hei, kau ini lama sekali!”
Aku tersentak, jantungku rasanya ditarik keluar ketika Oreki-san dengan seenaknya menarik tanganku hingga tubuhku bangkit. Aku mematung. Ah, apa aku terlihat konyol tadi? Pasti Oreki-san berfikir aku sangat bodoh sehingga jengkel dan langsung bertindak karena aku tak kunjung meraih tangannya. Ahhh! Benar-benar payah! Itu memalukan! Habisnya aku pun bingung, masa harus memegang tangan Oreki-san tiba-tiba?
Eh, tapi ...
Tadi,
Oreki-san yang memegang tanganku, ya?
Oreki-san,
Memegang tanganku?
OREKI-SAN MEMEGANG TANGANKU?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]
FanfictionMenjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku menikmatinya, itu sudah cukup bagi diriku yang pengecut ini. Entah apa yang membuatku menyukai pria berwajah lesu itu. Pria tak bersemangat y...