"Niisan, sedang apa sendirian di sini?"
Netranya berkedip beberapa kali, masih mencoba memproses kejadian di hadapannya. "Kau, siapa?" ia bertanya-tanya.
Gadis kecil itu terkikik kecil, lalu menegakkan tubuhnya yang semula membungkuk untuk meraih tubuh sang bocah lelaki. Seraya mengibaskan tangan, ia berucap santai, "Aku hanya kebetulan melihatmu sendirian, jadi aku ke sini."
Dengan gerakan riangnya, ia mulai beranjak dari tempat semula, lalu mendudukkan diri di atas pasir yang lembut namun dingin. Kepalanya pun lantas dimiringkan, mencoba menjangkau lawan bicara dengan pandangannya.
"Jadi, kenapa niisan sendirian saja?" tanyanya ulang. "Kau juga terlihat murung, apa ada masalah?"
Bocah laki-laki itu memalingkan wajahnya ke depan, menghindari tatapan yang teramat berbinar itu. Seraya menatap matahari yang mulai tenggelam dengan tak minat, ia menaruh dagunya pada lipatan tangan.
Sang gadis seharusnya teramat sadar, bahwa tatapan lawan bicaranya, sendu tak terkira.
"Orang tuaku baru saja meninggal."
Sang gadis kecil tersentak, ia sempat memundurkan tubuhnya dengan binar mata yang meredup. "A-ah, niisan maaf, aku tidak tau." ia berucap penuh penyesalan, takut pertanyaannya menyinggung laki-laki muda itu.
Tanpa menjawab apapun, kepalanya kembali tenggelam di antara lututnya lagi. Ia teramat putus asa, sehingga penyesalan itu tak berarti apa-apa. Toh tak akan membuat orang tuanya kembali hidup.
Seakan mengerti dengan situasi yang ada, sang gadis tetap diam, menikmati semilir angin yang menerpa keduanya dengan tenang. Ia hanya mengalihkan tatap, pada langit jingga yang terlampau indah jika harus dilewatkan.
"Aku tidak mengerti."
Gumaman laki-laki kecil itu membuat sang gadis menoleh, sehingga surai coklatnya yang terikat pita merah bergoyang.
"Kenapa harus aku yang mengalami ini." suaranya terdengar pelan, entah menahan tangis atau apa, yang pasti hatinya sakit tak terkira. "Memangnya tanpa mereka aku bisa apa?" tanyanya. "Aku tidak bisa, aku tidak bisa melakukan apapun."
"Kenapa aku tidak ikut saja dengan mereka?"
Gadis itu tersentak, seketika melebarkan matanya dengan sempurna. Lantas kemudian raut wajahnya berubah drastis, menunjukkan ekspresi yang sangat kesal. "Niisan, kau tidak boleh mengatakan hal itu!"
"Lalu apa?!" bentaknya, menoleh pada sang gadis hingga membuatnya terkejut. "Kau tau apa?! Kau tidak mengerti rasanya kehilangan! Kau tidak tau betapa aku menyayangi mereka berdua!!"
Laki-laki itu berteriak dengan terengah-engah. Ia kesal, kenapa tidak ada yang mengerti dirinya? Dia sangat menyayangi kedua orang tuanya sampai tidak tau harus berbuat apa. Mengetahui mereka sudah tiada tak bisa ia percaya begitu saja, tetapi itulah kenyataannya.
"Aku bingung, tau!" teriaknya kesal. "Aku kehilangan kedua orang tuaku di saat yang bersamaan! Kau pikir apa lagi yang lebih menyakitkan daripada itu?! Kenapa takdir harus membuat jalan seperti ini bagiku?!"
Giginya bergesekan kuat, menahan emosinya yang menjadi-jadi. Meski begitu, wajahnya sudah memerah hebat ketika menahan air matanya untuk keluar. Ia tak bisa menangis dengan sembarangan, apalagi di depan gadis yang mungkin lebih muda darinya.
"Aku," gumamnya tercekat, sementara netra mulai bergelombang oleh air mata. "Aku tidak bisa menahan rasa sakit ini ..."
Gadis itu menggigit bibirnya kuat, ketika rasa takut mulai menguar dari dalam hatinya. Netranya berlinang, saking terkejutnya sampai tidak bisa menahan cairan bening itu keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]
FanfictionMenjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku menikmatinya, itu sudah cukup bagi diriku yang pengecut ini. Entah apa yang membuatku menyukai pria berwajah lesu itu. Pria tak bersemangat y...