2 - Silence

1K 144 19
                                    

Matahari mulai meninggi, menyisakan langit berwarna kebiruan yang tampak cerah. Menjelang pukul sebelas siang, Jian baru memutuskan untuk keluar kamar. Selain karena hari Minggu, hari dimana Ia bisa bermalas-malasan tanpa perlu memikirkan tugas dan urusan tentang Sekolahan, Jian juga mendapat jam tidur tambahan. Tentunya, hanya di hari Minggu Jian bisa sedikit bersantai.

Rumah sepi. Kondisi yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Ia tinggal di rumah hanya bertiga. Bersama Ayah dan juga Jean, adiknya. Bunda sudah meninggal dua tahun yang lalu. Tepat dimana Jian baru memasuki masa SMA. Seolah menjadi alasan atas semua bahagia di dalam rumah, sosok Bunda yang pergi secara tiba-tiba jelas membawa duka. Tempat yang dahulu penuh warna kini perlahan-lahan memudar. Sosok Ayah yang diharapkan mampu membawa sedikit kebahagiaan, nyatanya malah menjadi alasan di balik semua kekecewaan.

Bukan berarti Jian membenci Ayahnya. Saat ini beliau satu-satunya orang tua yang Jian punya. Seperti yang pernah dikatakan Bunda, orang tua adalah orang yang berharga karena kehadiran kita adalah wujud dari perjuangan mereka. Jian jelas menghormati orang tuanya, termasuk Ayah. Tetapi rasa kecewa yang Ia miliki jelas tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia marah pada Ayahnya. Alasan utama mengapa Ia menyimpan amarah jelas karena Ayah seperti tidak menganggap kepergian istrinya. Kematian Bunda seolah tidak mempengaruhi hidupnya. Apalagi beberapa hari setelah Bunda tiada, Ayah tidak pernah bicara apa-apa. Ia hanya diam, bersikap seakan anak-anaknya mampu membawa duka dalam keheningan.

Mungkin Jian masih bisa menerima jika sikap Ayah hanya ditunjukkan kepada dirinya, tetapi Ayah juga bersikap demikian kepada Jean.

Jean tidak boleh menerima rasa sakit yang sama.

Jean pantas menerima semua perhatian dari orang tuanya.

Namun sayang, Jean tidak mendapatkannya.

Karena itu, setelah Bunda pergi, suasana rumah tidak pernah sama lagi. Semua juga berubah semenjak anak pertama orang tuanya sekaligus kakak tertua mereka turut meninggalkan rumah. Hubungan yang semula erat kini terasa asing. Apalagi, setelah meninggalkan rumah Jian tidak pernah menemuinya lagi. Dua tahun berlalu dan Jian bahkan tidak tau kemana kakaknya pergi.

"Jean?" Jian mengetuk pintu kamar adiknya dengan hati-hati. Cowok itu memanggil pelan, takut suaranya malah terkesan menganggu. "Je, lo ada di dalam, kan?"

Butuh beberapa detik bagi Jian menunggu pintu di buka oleh adiknya. Saat ini waktu sudah lewat dari jam dua belas siang. Jian tadi sempat keluar untuk membeli makanan. Karena dari pagi Ia hanya berada di dalam kamar, Ia jelas tidak sempat sarapan. Dan tanpa menguasai ilmu apapun, Ia juga tahu kalau Jean belum makan apapun dari pagi. Karena sama seperti dirinya, Jean juga mempunyai hobi mengurung diri.

Pintu terbuka dan sosok Jean muncul dari sana. "Kenapa?"

Jian berdeham. Merasa perlu melegakan tenggorokkannya sebelum bicara. "Gue udah beli makan."

Jean terdiam. Malah memalingkan muka. "Gue belum laper."

"Tapi lo harus makan." Jian mempertegas. "Lo tadi juga gak sarapan, kan?"

Jean menghela nafas pelan. Entah kenapa berbicara dengan Jian bahkan meskipun Ia adalah kakaknya sendiri, terasa begitu asing. Hubungan mereka tidak buruk. Mereka juga tidak pernah bertengkar. Hanya saja, setelah kepergian Bunda mereka jadi jarang berbicara. Dan hal itu jelas menciptakan jarak di antara mereka.

"Yaudah. Nanti gue turun."

Sebelum Jean menutup kembali pintu kamarnya, Jian buru-buru bersuara. "Lo mau ngapain?"

"Ke toilet."

"Ah, oke." Jian mengangguk paham. "Kalo bisa jangan lama-lama. Takut makanannya dingin."

The Dandelion'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang