6 - Minimarket

609 94 0
                                    

Setelah pulang sekolah tadi, Haivan memang sengaja tidak langsung pulang ke rumah karena malas sendirian. Sehingga Ia lebih memilih mampir ke minimarket yang tidak begitu jauh dari sekolahnya. Cowok itu membeli satu mie instant cup, air mineral, dan dua ciki kentang kemasan besar. Ia lantas duduk di kursi yang tersedia di bagian depan minimarket untuk menyantap makanan.

Sesi makan Haivan berjalan damai. Tidak sampai sepuluh menit untuk menghabiskan mie instant cup yang kini sudah kosong tanpa isi. Haivan meraih sebotol air mineral dari atas meja, lantas meneguknya beberapa kali untuk melegakan tenggorokan. Cowok itu lalu memilih memainkan ponsel sambil memakan ciki yang sempat Ia beli.

Sampai dua puluh menit berlalu, Haivan sudah sedikit merasa bosan. Ia melihat ke sekitaran. Jalanan sore hari ini cukup ramai. Dipenuhi oleh orang-orang yang baru saja menyelesaikan kegiatan harian. Haivan menghela napas pelan. Lalu tiba-tiba matanya tertuju pada seseorang yang kini tengah berjalan ke arahnya dengan senyuman lebar.

Orang itu adalah Yoshi.

"Udah lama?" Yoshi bertanya mengawali obrolan. Cowok itu lalu duduk di hadapan Haivan.

"Lumayan. Gue bahkan udah ngabisin satu mie instant sama dua ciki gede di sini."

"Sorry, Van. Tadi gue emang agak lama di Serein Cafe."

"Lo ke Serein?" Haivan bertanya. Ia sedikit tau soal tempat itu. "Gue kira lo baru balik ngampus."

"Balik ngampus gue langsung ke Serein. Sama temen gue yang namanya Mario. Lo inget?"

Haivan terdiam. Cowok itu berpikir sebentar. "Ah—Bang Rio. Gue inget. Lo pernah beberapa kali cerita juga soal dia."

Yoshi tersenyum. Matanya lalu memandang ke arah Haivan yang masih mengenakan seragam sekolah. Di belakangnya bahkan ada tas yang biasa Ia gunakan. "Lo belum balik ke rumah?"

Haivan menggeleng.

"Nyokap lo gak marah?"

"Nyokap gue baru pulang dari rumah sakit nanti malem, jadi gak masalah."

Yoshi mengangguk paham, lalu kembali bertanya. "Jadi gimana?"

"Apanya yang gimana?"

"Soal hubungan lo sama nyokap lo." Yoshi berujar penuh kehati-hatian. Ia takut jika pertanyaannya membuat Haivan tersinggung.

Haivan tersenyum tipis, lalu menjawab santai. "Udah jauh lebih baik. Seenggaknya, gue sama nyokap gak saling diem-dieman lagi sekarang."

Semenjak terjadi permasalahan dalam keluarganya, Mama dan Papa dulu sempat bertengkar hebat sampai akhirnya memutuskan untuk bercerai. Saat itu Haivan masih berumur lima belas tahun. Ia bahkan baru duduk di kelas satu SMA. Mama yang merasa tersakiti akhirnya memilih pergi. Ia meninggalkan rumah untuk menyelamatkan perasaannya sendiri.

Rumah yang dulunya berisi canda tawa lantas berubah menjadi tempat yang dipenuhi luka. Haivan tidak mengira jika keluarganya akan menghadapi kehancuran. Orang tua yang semula jadi sumber kasih sayang malah memberinya banyak kekecewaan. Seakan mendapat pukulan telak, Haivan yang masih berusaha menerima segala jenis rasa sakit dalam hidupnya, akhirnya kembali patah karena Herga juga turut meninggalkannya.

Kakak laki-lakinya pergi disaat Haivan membutuhkan sosok yang membantunya bangkit dari keterpurukan. Herga yang diharapkan mampu memberi kekuatan, justru membiarkannya hancur dalam kesendirian. Dalam satu waktu, dunia yang dulu berada dalam genggamannya seakan jadi bumerang yang balik menyerangnya hingga tenggelam dalam kehancuran. Haivan lupa kalau sebelumnya Ia adalah anak yang penuh kebahagiaan. Sampai akhirnya hidup memberinya luka dan membuat dirinya nyaris kehilangan kekuatan.

The Dandelion'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang