9 - You and Me

533 93 8
                                    

Herga berjalan sambil memperhatikan sekitaran. Matanya tidak berhenti melihat kanan dan kirinya untuk mencari Haivan. Sepertinya Haivan sangat menghindari Herga, karena sewaktu Ia pergi demi menyusul Haivan tadi, cowok itu sudah tidak terlihat dalam pandangan. Dan karena itu, Herga dibuat setengah gila hanya untuk mencari dimana keberadaan adiknya. Ia bahkan sampai mengecek setiap jalan hanya untuk menemukan Haivan.

Herga kembali mengepalkan tangan untuk mengurangi rasa perih dari lukanya. Darah memang sudah tidak lagi mengalir, namun Herga tidak bisa mengabaikan rasa sakitnya. Apalagi luka itu terbilang cukup besar. Cowok itu lalu melangkahkan kakinya pada sebuah belokan. Jalan itu tidak begitu besar. Di kanan-kirinya terdapat pertokoan yang sebagian sudah tertutup. Herga bahkan bisa melihat hanya dua toko di ujung jalan yang buka.

Mendadak langkah kakinya berhenti karena melihat Haivan berada tepat beberapa meter di depannya.

"HAIVAN!" Butuh nyali yang besar untuk memanggil Haivan dengan suara lantang.

Mendengar namanya disebut, Haivan langsung berhenti berjalan. Namun tidak segera berbalik. Herga yang masih berdiri di tempatnya lantas berjalan untuk menghampiri Haivan. Ketika Herga sudah berada di dekatnya, tiba-tiba Haivan berbicara.

"Ngapain lo di sini?" Tanya Haivan tanpa berbalik. Cowok itu masih memunggungi Herga.

"Gue...." Herga tidak bisa melanjutkan ucapannya karena rasanya terlalu susah untuk berbicara.

Haivan berbalik, lalu menatap Herga dingin. "Setelah bertahun-tahun, kenapa lo baru muncul hari ini?"

Herga membisu.

"KENAPA LO DATENG LAGI KE GUE? KENAPA?!" Haivan langsung meraih kerah baju Herga. Cowok itu terlihat sangat marah.

Herga berusaha menjawab dengan susah payah. "Gue bisa jelasin semuanya sama lo. Tapi tolong, jangan begini, Van."

"Lo kira gue butuh penjelasan sampah dari lo?!" Haivan menatap sinis. "Setelah apa yang udah lo lakuin ke gue, lo pikir gue bisa segampang itu untuk terima semuanya?"

"Haivan..."

"Lo pergi ninggalin gue, Bang! Lo pergi buat selamatin diri lo sendiri tanpa mikir kalo lo punya adik yang harus lo peduliin!"

"Gue minta maaf."

"Maaf?" Haivan membalas sarkastik. Cowok itu menyeringai, lalu melepas genggaman tangannya pada kerah baju Herga dengan kasar. "Brengsek lo!"

"Gue mohon denger penjelasan gue dulu, Van."

"Rasa sakit gue gak sebanding sama permintaan maaf lo." Haivan membalas cepat. "Saat ini gue udah bahagia sama Mama. Terus lo muncul di hadapan gue dan merusak semuanya."

"Apa lo lupa kalo gue juga anak Mama?"

"Tanpa lo ngomong juga gue tau kalo lo anak Mama." Haivan menjawab. "Tapi apa lo gak sadar kalo kehadiran lo itu cuma buat susah?"

Herga terdiam. Kata-kata Haivan terdengar begitu menyakitkan. Sebelumnya Ia memang sudah menyangka jika bertemu dan berbicara dengan Haivan pasti akan berujung pertengkaran. Karena itu Herga terlalu takut untuk menemuinya secara terang-terangan. Dan itulah alasan mengapa selama dua tahun belakangan Herga lebih memilih untuk menghindar.

Ia takut jika kehadirannya akan menyakiti Haivan.

Jauh di dalam hatinya, Herga masih menyayangi anak itu. Herga merindukan momen ketika mereka main game bersama, menonton pertandingan bola, hingga jalan-jalan sore sambil bermain sepeda. Kenangan manis sewaktu bersama Haivan selalu terputar.
Bagaimana hidup mereka dulu selalu dipenuhi kebahagiaan, sebelum akhirnya hancur secara perlahan. Begitu banyak hal yang Herga rindukan, namun tidak bisa semudah itu untuk kembali terulang.

The Dandelion'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang