17 - Cookies

401 70 0
                                    

Pagi ini, Jean sudah bertekad untuk mengajak Jian sarapan bersama. Ketika Ia membuka mata tadi, cowok itu langsung buru-buru merapikan diri agar bisa keluar rumah untuk membeli makanan. Saat Ia melewati kamar Jian, Ia sempat mengetuk pintu kamar itu dan memanggil nama Jian beberapa kali, namun tidak ada jawaban dari dalam. Mungkin Jian masih asik tenggelam dalam dunia mimpi. Apalagi sekarang adalah hari Sabtu, sehingga Jian tidak memiliki kewajiban bangun pagi untuk berangkat ke sekolah.

Jadi Jean langsung memutuskan untuk membeli bubur ayam yang kebetulan ada di dekat komplek tempat Ia tinggal.

Jean ingat, dulu sebelum penjual tersebut memiliki kios, Ia suka berkeliling setiap pagi. Menjelajahi jalan-jalan di komplek rumahnya untuk menarik pembeli. Dulu yang paling sering membeli bubur ayam untuk sarapan adalah Jian. Cowok itu sudah pasti memberhentikan penjual bubur tersebut ketika lewat depan rumah. Juan hanya beberapa kali membeli, karena dibanding bangun pagi untuk sarapan, Juan lebih memilih bermesra-mesraan dengan bantal guling di atas kasur. Sedangkan Jean, Ia lebih memilih makan masakan Bunda untuk sarapan.

Jean tiba di rumah dengan dua porsi bubur ayam di tangannya. Ia lantas buru-buru ke ruang makan untuk menyiapkan semuanya. Setelah selesai, cowok itu segera menuju ke lantai dua untuk mengajak Jian sarapan bersama.

Jean menarik napas dalam sebelum memanggil kakaknya. Kini Ia sudah berada tepat di depan pintu kamar Jian. "Bang Jian, lo udah bangun?"

Tidak ada jawaban.

Cowok itu kembali mengetuk pintu beberapa kali. "Bang? Bang Jian?"

Jean meraih knop pintu. Mengayunkan benda itu sekali dan berharap pintu di hadapannya terbuka, namun sayangnya, pintu itu dalam keadaan terkunci.

"Bang Jian?"

Jean meninggikan suaranya. Memanggil Jian dengan suara yang lebih keras. Cowok itu mengangkat tangan, bersiap mengetuk pintu kamar Jian sekali lagi hingga akhirnya pintu di hadapannya terbuka dengan sempurna. Menampilkan sosok Jian dengan rambut yang agak berantakan beserta piyama kotak-kotak berwana biru yang Ia pakai.

"Apaan?"

"Lama banget buka pintunya."

"Abis dari kamar mandi." Jian menjawab cepat. "Kenapa?"

Jean mendadak gugup. Cowok itu berdeham sebelum berbicara. "Eum.... gue mau ajak lo sarapan."

Jian tidak menjawab.

"Gue udah beli bubur ayam deket Indomaret depan komplek. Itu bubur ayam langganan lo, kan?"

"Lo beli sendiri?"

Jean mengangguk sambil menatap Jian polos. "Mau sarapan bareng?"

Jian terdiam sejenak. "Boleh."

"Oke. Kebetulan gue udah siapin semuanya di meja makan." Jean membalas antusias. Tanpa sadar senyum di wajahnya terkembang.

Mereka langsung berjalan menuruni anak tangga untuk menuju ke ruang makan.

"Tumben."

"Eh?"

"Biasanya lo yang paling ogah kalo disuruh masak, siapin makanan, atau bahkan beli makanan keluar."

Jean terkekeh. "Itu kan dulu."

"Emang lo demennya cuma makan doang!" Jian mengejek yang dibalas Jean dengan tawa kecil.

Saat sudah tiba di ruang makan Jian langsung menarik salah satu bangku dan duduk di atasnya. Jean juga melakukan tindakan yang sama. Duduk di bangku yang kebetulan berhadapan dengan Jian.

Dari tadi Jean ingin sekali bertanya mengapa Jian semalam tidak keluar dari kamar, namun pertanyaan itu hanya bisa Ia suarakan di dalam hatinya. Ia tau jika Jian pasti masih memikirkan tentang pembicaraannya bersama Ayah sore kemarin. Jean bahkan bisa melihat raut wajah Jian yang terlihat lebih dingin dari biasanya.

The Dandelion'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang