25 - I'm Here

441 64 2
                                    

Jian tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya tidak memiliki kekuatan untuk melepas pelukan Juan. Dekapan itu terasa hangat. Berada dalam rengkuhan tubuh Juan membuatnya seperti sedang dilindungi. Tanpa sadar tangannya bergerak. Membalas pelukan yang Juan berikan. Bahu Jian bergetar. Seiring dengan air mata yang mengalir keluar dan membasahi bagian pundak jaket yang Juan pakai. Anak itu kembali larut dalam sedu-sedan.

Juan tidak bicara apa-apa. Ia merasa takut jika apa yang nantinya Ia ucapkan malah akan menyinggung perasaan Jian. Cowok itu hanya diam. Membiarkan Jian membasahi pakaiannya dengan air mata. Tangannya tidak lepas dari punggung Jian. Mengusapnya secara perlahan. Berharap bisa menenangkan Jian yang masih larut dalam tangisan.

"Gue kangen sama Bunda."

Tiba-tiba Jian bicara begitu. Suaranya bergetar. Dari apa yang Juan dengar, Ia tau ada rasa sakit dan rindu yang tersirat dalam ucapan Jian.

Juan mengangguk pelan, lalu berbisik lirih. "Gue tau."

Jian kembali meneteskan air mata. "Kenapa Bunda harus pergi lebih dulu, Bang?"

"Kita gak bisa tentuin kehidupan seseorang, Ji." Juan menjawab pelan. Suaranya hampir terdengar seperti bisikan. "Apa yang terjadi sama Bunda adalah hal yang emang seharusnya terjadi."

Hari berganti. Tahun demi tahun terlewati. Jian masih mencoba mengerti mengapa keadaan terasa begitu sulit. Kehidupan yang Ia miliki sebelumnya adalah hidup yang dipenuhi kebahagiaan. Ia hampir tidak pernah memiliki kenangan menyedihkan. Ayah, Bunda, Juan dan Jean adalah orang-orang yang selalu menjadi alasan mengapa Jian bisa sangat bahagia. Namun setelah Bunda tiada, kebahagiaan seperti turut pergi meninggalkannya.

Jian tidak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa sampai saat ini, Ia masih belum bisa terbiasa dengan ketiadaan Bunda. Orang yang sebelumnya menemani Jian hampir di setiap detik, menit, serta jamnya, kini sudah tidak lagi ada. Jian tidak bisa membohongi perasaannya, jika Ia masih betul-betul membutuhkan Bunda. Jian bahkan tidak mampu membayangi bahwa kedepannya, Ia harus menjalani hidup tanpa sosoknya. Jian harus terbiasa. Jian harus bisa melepas kepergian Bunda. Meskipun hari ini Jian masih belum mampu melakukannya.

Jian melepaskan tubuhnya dari pelukan Juan. Cowok itu langsung mengusap wajahnya. Menghapus jejak-jejak air mata dari sana. Mata serta hidungnya memerah. Tanda jika Ia sudah terlalu banyak menangis dan mengeluarkan air mata.

"Maaf." Jian berucap sambil menunduk. Seperti tengah menghindari berpandangan dengan Juan. "Seharusnya gue gak nangis lagi."

Juan tidak membalas. Cowok itu malah membuka jaket yang Ia kenakan, lantas memakaikan jaketnya pada tubuh Jian yang hanya terbalut seragam sekolah. Jian terperangah. Sempat berniat menolak perlakuan Juan, namun saat tubuhnya telah sepenuhnya terbungkus jaket milik Juan Ia malah terdiam.

"Anginnya terlalu besar. Langitnya juga mendung. Mungkin bentar lagi bakalan hujan." Juan berbicara sambil memegang kedua bahu Jian. "Gue gak mau lo kedinginan."

Melihat bagaimana Juan menatap matanya, Jian tau bahwa Juan benar-benar tidak berubah. Apa yang Ia lakukan dua tahun lalu memang sebuah kesalahan, namun sekarang Jian mengerti bahwa itu bukan sepenuhnya kesalahan Juan. Selama ini Ia terjebak dalam kesalahpahaman. Seketika Jian teringat dengan apa yang Jae ucapkan waktu itu saat mereka tidak sengaja bertemu di depan minimarket. Selama dua tahun terakhir Juan benar-benar menderita sendirian. Ia bahkan harus berusaha dari awal untuk terus bertahan.

"Gue tau mungkin gue gak pantas bilang ini sama lo." Kata-kata Juan membuat Jian kembali menatapnya. "Untuk apa yang pernah terjadi dulu, gue minta maaf. Gue udah ingkar janji. Maaf karena gue belum bisa jadi Abang yang baik."

Jian terdiam.

"Gue merasa bersalah. Bukan cuma sama lo, tapi juga sama Jean dan Bunda. Gue udah buat kalian semua kecewa."

The Dandelion'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang