21 - Revenge

441 68 3
                                    

Sama seperti Minggu sebelum-sebelumnya, hari ini Juan dan keempat temannya melakukan sesi bersih-bersih rumah. Mereka kembali membagi tugas mulai dari menyapu, mencuci motor serta pakaian yang belum sempat dilaundry, merapikan kamar, dan membersihkan halaman. Untungnya hari ini Juan sudah tidak lagi termakan tipu daya keempat temannya, sehingga tidak ada yang bisa mengusili Juan lagi. Kegiatan bersih-bersih rumah selesai sebelum matahari meninggi. Mereka jadi memiliki lebih banyak waktu untuk bersantai.

Selesai makan siang Jae mengajak teman-temannya menonton film horror bersama di ruang keluarga. Herga tentu menolak keras, tapi tidak bisa berkutik saat Jiko memaksa dengan tatapan maut andalannya. Juan memilih untuk mengalah. Lagi pula menonton film horror jauh lebih baik dibanding menyaksikan sinetron tidak masuk akal yang ditayangkan di televisi. Sementara Aska tidak berkata apa-apa, namun menjadi yang paling semangat saat film berlangsung.

Mereka menonton beberapa film untuk mengisi waktu luang. Bersantai di hari Minggu seperti menjadi cara bagi mereka untuk mengobati penat. Apalagi hari-hari sebelumnya mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan di kampus dan juga urusan pekerjaan. Minggu menjadi satu-satunya hari bagi mereka untuk sedikit melepas beban. Meskipun hari setelahnya, mereka harus kembali menjalani kewajiban masing-masing.

Menjelang sore, mereka memutuskan balik ke kamar untuk merapikan diri. Mereka baru kembali berkumpul saat tiba jam makan malam. Karena tidak ada yang bersedia memasak dan di kulkas tidak ada bahan yang cukup layak untuk dibuat menjadi makanan, akhirnya mereka memutuskan untuk memesan makanan dari luar. Kali ini mereka tidak perlu melewati perdebatan untuk memilih menu makanan. Sepertinya mereka sudah pasrah dengan makanan apa saja karena perut sudah dalam kondisi yang sangat lapar. Sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk memesan dan menunggu makanan sampai.

Sesi makan malam tidak berlangsung lama. Selesai makan hanya Juan yang tidak langsung kembali ke kamar. Cowok itu malah duduk sendirian di bangku halaman belakang sambil menatap kosong pada pot-pot bunga di hadapannya.

Juan merasa kepalanya bisa sewaktu-waktu meledak karena terlalu banyak hal yang memenuhi pikirannya. Dua tahun terakhir, Juan sudah harus dibuat lelah dengan kewajiban kuliah serta kerja part time yang menjadi tanggung jawabnya. Ditambah hubungan buruk antara dirinya dengan Jian dan Jean membuat Juan terjebak dalam rasa bersalah. Setelah Bunda tidak ada, semakin banyak rasa sakit yang telah Juan terima. Ia seperti sudah biasa hidup berdampingan dengan luka.

"Oi!"

Juan tersentak saat mendengar satu seruan. Cowok itu langsung menoleh dan mendapati Jae yang sedang berdiri sambil melipat tangan di dada dan bersandar pada pintu dapur.

"Sejak kapan lo ada di situ?"

Jae berjalan mendekat. Ia langsung duduk di sisi bangku yang kosong, tepat di sebelah Juan. Jae berdeham. "Bengong terus, sih. Jadinya gak tau kalo gue berdiri di situ."

Juan mendengus.

"Kenapa lo? Lagi banyak pikiran?"

"Kalo gak ada pikiran gue udah gila namanya."

"Maksud gue, apa lo lagi mikirin sesuatu? Sampai ngelamun segala." Jae berdecak. "Gitu aja gak paham."

"Gak ada apa-apa." Juan berkilah. "Emang lagi pengen bengong aja."

"Kalo gitu mending lo sekalian aja bengong di gunung. Siapa tau lo bisa perdalam ilmu baru."

"Gue bukan anggota sekte sesat."

"Emang bukan anggota, kan lo ketuanya."

Juan memutar bola matanya jengkel. "Lo mending gangguin Aska sama Herga aja, dari pada ngebacot gak jelas sama gue. Atau sekalian lo rusuhin Jiko sana itung-itung uji nyali!"

The Dandelion'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang