27 - McDonald's

402 68 0
                                    

Selama beberapa menit perjalanan, Haivan dan Herga benar-benar hanya terdiam. Haivan lebih memilih lihat ke arah jendela, sementara Herga sibuk dengan isi pikirannya. Duduk bersama Herga membuat Haivan merasa ada dinding besar yang menghalangi mereka. Sekalipun jarak di antaranya dan Herga begitu dekat, tetapi Haivan merasa jika Ia dan Herga seperti berada di ruang yang tak sama. Aneh, sebab dulu Herga adalah orang yang selalu berada di dekatnya. Herga dulu menjadi orang yang selalu menemaninya. Haivan tidak tau sudah sebanyak apa waktu yang Ia habiskan bersama Herga.

Sebelum akhirnya permasalahan terjadi dan membuat semuanya berubah. Hubungan antara Haivan dan Herga juga menjadi berbeda.

Haivan sempat melirik ke arah Herga. Secara tidak sadar jadi memperhatikan Herga yang beberapa kali bergidik dan mengusap tangan. Baju yang Herga kenakan jauh lebih basah dibandingkan pakaian yang melekat pada Haivan. Dan mungkin itu membuat Herga merasa kedinginan. Namun cowok itu tidak bicara apa-apa. Ia hanya diam. Sesekali mengecek ponselnya dan sibuk menatap sekitaran.

Saat tiba di halte tujuan, Haivan dan Herga langsung berniat turun. Namun baru saja Herga melangkahkan kaki untuk menuju pintu bus, tiba-tiba Haivan mengucapkan sesuatu padanya.

"Nih, ambil!"

Herga berbalik. "Ambil ap—"

Ia tidak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba sebuah jaket terlempar ke arahnya. Herga spontan menangkap jaket itu. Untung tangannya bisa bergerak cepat sehingga jaketnya tidak terjatuh.

"Males gue pake jaket lo lama-lama."

Herga mengerjap beberapa kali. Ia masih merasa terkejut. Cowok itu lalu memakai jaketnya dan kembali berjalan menuju pintu bus menyusul Haivan. Hujan di luar masih turun dengan deras. Saat mereka keluar dari bus, Herga kembali membuka payung untuk melindunginya dan Haivan dari guyuran hujan.

Waktu sudah beranjak sore dan mereka berdua langsung berjalan menjauh dari halte untuk segera pulang.

Hanya membutuhkan sepuluh menit untuk tiba di rumah. Selama perjalanan mereka masih sama-sama membungkam mulut. Tidak ada yang berbicara sama sekali. Haivan fokus menatap lurus ke depan, sedangkan Herga hanya berjalan santai sambil memegang gagang payung. Herga sengaja membiarkan Haivan berada di bawah sisi payung yang lebih banyak agar Ia tidak akan terkena air hujan sedikitpun. Berbeda dengan Herga yang tangan kanannya sudah basah terkena cipratan air, karena lengannya tidak cukup terlindungi oleh payung.

Rumah begitu sepi. Saat Herga masuk ke halaman depan mobil milik Mama tidak terparkir di garasi. Mungkin karena Mama belum pulang kerja. Dari dulu Mama memang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Apalagi Mama juga suka mengerjakan urusannya lebih dari jam kerja.

Herga mengantarkan Haivan sampai teras depan rumah. Begitu Haivan sudah berada di sana, Herga terdiam sesaat. Memandang Haivan dengan lekat.

"Ngapain lo masih di sini?" Haivan bertanya dengan nada yang dingin. "Sana pulang!"

Cowok itu menarik napas dalam, lalu tersenyum tipis. "Yaudah, kalo gitu gue balik."

Haivan tidak membalas.

"Lo habis ini langsung mandi dan ganti baju. Kalo bisa sekalian makan dan istirahat." Herga masih menatap Haivan. "Jangan sampai sakit."

Tanpa sadar satu tangan yang berada di samping tubuhnya terkepal kuat. Ia jelas merasa gugup. Mengucapkan hal itu pada Haivan tentu butuh keberanian khusus.

"Lo nunggu apalagi?"

Mendengar balasan Haivan, Herga hanya bisa tersenyum kecut. "Gue gak nunggu apa-apa."

Haivan hanya menatapnya dengan tatapan datar.

"Gue pamit."

Herga langsung berbalik. Melangkahkan kakinya untuk menuju ke gerbang yang terbuka.

The Dandelion'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang