34 - Distance

427 67 2
                                    

Waktu berputar. Hari kembali terulang. Kegiatan Juan masih berjalan seperti biasanya. Ia masih melakukan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa dan juga menyelesaikan kerja paruh waktu di sela-sela harinya. Segalanya terasa begitu cepat. Tanpa sadar sudah sebulan berlalu sejak pertemuannya dengan Jean. Selama ini Ia selalu berhubungan baik dengan Jian. Anak itu sering mengiriminya pesan. Jian juga selalu memberikan kabar tentang Jean, karena hanya melalui Jian, Juan bisa mengetahui keseharian Jean selama di rumah.

Di luar hubungannya dengan Jean yang masih terbilang buruk, semua hal di sekitarnya justru berjalan sangat baik. Rumah selalu diisi oleh berbagai candaan. Juan dan keempat temannya selalu mengisi waktu luang dengan bersantai. Menggunakan hari Minggu untuk bersenang-senang. Sabtu lalu Jiko, Jae dan Aska juga sempat jalan ke mall bersama. Selain itu, Herga dan Haivan terlihat semakin dekat. Haivan juga jadi lebih akrab dengan Juan, Jae, Jiko dan juga Aska. Beberapa kali anak itu memang datang ke rumah untuk menyambangi Herga.

Juan merasa bersyukur karena secara perlahan masalah yang dialami Herga mulai terselesaikan. Hubungan Herga dengan Mama dan Haivan mulai membaik. Tidak lagi ada jarak di antara mereka. Beban pada pundak Herga mendadak sirna dan kini Ia terlihat lebih bahagia. Meski begitu, Juan sedikit merasa sedih karena hubungannya dengan Jean justru tidak ada kemajuan sama sekali. Anak itu tetap memberi jarak padanya. Dan karena itu, beberapa hari lalu Juan mengirimi Jean pesan singkat. Ia berkata pada Jean jika ada hal yang ingin Ia bicarakan dan Juan mengajak Jean bertemu di tempat dan waktu yang sudah Ia tentukan.

Sampai hari ini pesan itu belum terbalaskan. Juan tidak tau apa Jean tidak melihat pesan yang dikirim darinya atau justru sengaja mengabaikannya. Walaupun tidak ada kepastian dari Jean, Juan tetap datang ke tempat dimana Ia mengajak Jean bertemu.

Juan sudah berdiri dari lima belas menit yang lalu. Angin di sekitarnya berhembus kencang. Membuat beberapa helai rambutnya berantakan.

"Dari semua tempat, kenapa lo harus ajak gue ketemuan di sini?"

Bahu Juan seketika menegang. Secara perlahan Ia menoleh ke belakang. Juan langsung membisu saat melihat Jean di sana. Anak itu masih mengenakan seragam sekolah dan sedang berdiri beberapa meter di belakangnya.

Juan mengajak Jean bertemu di makam Bunda. Dari awal Juan sudah berniat untuk membicarakan masalah di antara Ayah dan Bunda dulu. Setelah mengulur banyak waktu, akhirnya Juan memutuskan untuk berbicara sekarang. Memikirkan tentang rahasia itu jelas membuat hatinya terganggu. Apalagi Ia menyimpan hal itu selama bertahun-tahun. Juan sudah terlalu merasa bersalah dan Ia tidak mau terus-terusan membuat banyak orang kecewa. Jika nanti Jean berakhir marah, Ia sudah siap menerima resikonya.

Setidaknya Ia bisa melepas beban yang selama ini menghantuinya. Dan setelahnya Juan akan memikirkan cara untuk menyelesaikan semuanya.

"Ada yang mau gue bicarain sama lo."

"Gue harap hal yang mau lo bicarain gak akan buang-buang waktu gue."

"Ini berkaitan sama Bunda."

Jean langsung terdiam.

Semenjak Bunda tiada, pemakaman adalah tempat yang sangat Jean takutkan. Ia merasa takut bukan pada hal-hal mistis atau menyeramkan di baliknya, tetapi pada kenangan paling menyakitkan dalam hidupnya. Datang ke makam Bunda sama saja melukai hatinya secara sengaja. Jean takut jika dirinya akan kembali membayangi hari kematian Bunda. Dan karena itu, Ia jarang sekali datang ke tempat ini.

Jean menghela napas pelan, lalu melangkahkan kakinya untuk mendekat pada Juan. Pusara Bunda terlihat berbeda dari yang terakhir kali Ia lihat. Ada rerumputan hijau di atas permukaan tanahnya. Di dekat batu nisan ada satu buket bunga. Makam itu tampak terawat. Melihatnya membuat Jean sedikit merasa bersalah, karena Ia sudah melewati banyak hari tanpa menyapa Bunda. Ia bahkan tidak pernah datang dengan membawa bunga.

The Dandelion'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang