44 - Us

366 53 0
                                    

Hari ini Juan sengaja menyempatkan diri datang ke sekolah Jian. Adiknya sedang ujian dan Ia ingin menjemput Jian serta mengantar anak itu pulang ke rumah. Begitu Juan sampai di sekolah Jian, Ia tidak perlu menunggu lama, karena sepuluh menit setelahnya siswa-siswi sudah mulai berhamburan dari dalam kelas untuk meninggalkan sekolah. Jian terlihat sedang berjalan bersama dengan Yovan dan Dendra, dan saat Ia melihat Juan berada di dekat gerbang sekolah, mereka bertiga langsung menghampiri Juan.

Yovan dan Dendra sempat menyapa Juan dan berbicara sebentar, lalu mereka berdua memutuskan untuk segera pulang. Jian dan Juan juga langsung berjalan beriringan meninggalkan sekolah.

"Lo gak ke kampus hari ini?"

"Gue habis dari kampus, kok. Emang mau jemput lo aja." Juan tersenyum. "Gimana ujiannya?"

"Lancar-lancar aja."

"Bisa, kan?"

"Bisa, dong. Gue gitu, loh!"

"Idih, gayaaaaaa!"

"Beneran bisa gue. Kan semalam belajar."

Juan tersenyum. "Semoga hasilnya nanti sesuai sama usaha yang lo lakuin sekarang."

"Lo gak boleh lupa sama janji lo, ya?"

"Janji yang mana?"

"Katanya mau ajak gue jalan-jalan?!"

"Oh, yang itu." Juan terkekeh. "Tenang aja. Gue gak pernah ingkar janji, kok."

"Gak pernah ingkar janji mata lo!" Jian membalas dengan nada yang tajam. "Lo pernah ingkar janji sama gue dan Jean dua tahun yang lalu."

"JANGAN BAHAS-BAHAS ITU LAGI, DONG!" Juan membalas dengan suara yang keras, hingga membuat beberapa orang yang sedang berjalan menoleh ke arahnya. "Kita kan udah sepakat buat saling ngertiin satu sama lain. Gue juga udah minta maaf, kan?"

"Udah minta maaf sih emang. Tapi kan tetep aja lo pernah ingkar janji sama gue!"

"Yaudah deh gue ralat ucapan gue tadi!" Juan mendengus. "Soal janji gue sama lo tenang aja. Gue gak akan ingkar janji lagi, kok."

"Itu baru bener!" Jian langsung nyengir. "Oh, iya. Kata Haivan, Bang Herga juga pernah janji sama dia buat ajak dia jalan-jalan kalo selesai ujian nanti."

"Kita emang pernah punya rencana buat liburan bareng."

"Seriusan lo?!"

Juan mengangguk. "Gue sama teman-teman gue pernah bahas itu."

"Kayaknya seru."

"Udah pasti seru, lah. Soalnya kan ada gue."

"Dih?"

"Kan gue pembawa kebahagiaan."

"Siapa?"

"Gue."

"Yang nanya?"

"Yeh, dasar!" Juan langsung cemberut. "Tapi kayaknya kita gak bakal bisa buat liburan bareng sesuai rencana, deh."

Raut wajah Jian langsung berubah. "Loh, kenapa?"

"Herga habis kecelakaan. Beberapa waktu ke depan pasti dia harus rutin check up. Apalagi luka Herga bukan lagi luka ringan. Kaki kirinya juga patah. Pasti perlu waktu banyak kan buat pulih kayak semula?"

Jian menghela napas. "Bener juga."

"Sekarang gue, teman-teman gue, terus Haivan dan Tante Kalina bakal fokus sama kesehatan Herga dulu. Gimana pun juga kondisi dia jadi yang paling penting sekarang."

"Gue ngerti."

Juan dan Jian tidak melanjutkan obrolannya lagi, karena kini mereka sudah tiba di halte. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu bus datang. Mereka berdua langsung masuk ke dalam bus dan duduk di bangku yang berada di tengah. Jian duduk di pojok, persis di sebelah jendela. Sementara Juan duduk di sampingnya. Di luar langit berwarna kelabu. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Juan tidak perlu khawatir karena sekarang Ia membawa payung. Ia dan Jian juga sama-sama memakai hoodie, sehingga tidak perlu takut kedinginan jika hujan turun saat mereka masih berada di perjalanan.

The Dandelion'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang