21. Hijrah

21 13 3
                                    

"Jaga lidahmu, karena ia bisa membinasakanmu dalam sekejap waktu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jaga lidahmu, karena ia bisa
membinasakanmu dalam sekejap waktu."


------------


"Ada apa tadi? Saya lihat kok ribut begitu?"

Kehadiran Adam membuat Nara tersentak.

"Biasalah, orang bego nggak punya otak," jawab Nara yang kesal.

"Astaghfirullah."

"Katanya selesai sore, ngapain baru jam 3 udah nyamperin?" Tanya Nara yang kebingungan.

"Kepedean. Saya niatnya mau ngopi dulu disini di kedai mbah Mamat. Malah ketemu mba." Adam menyalamu kakek tua itu.

"Terserah, lo."

Terlihat Adam menyeduh kopinya sendiri. Sepertinya, Adam sudah akrab dengan kakek tua yang dipanggilnya Mbah Mamat.

"Ternyata manusia kaya lo juga doyan ngopi?" Tanya Nara dengan asal.

"Emang ada larangan untuk saya ngopi?" Jawabnya dengan sinis.

"Santai aja muka lo bisa nggak? Gue tampol tau rasa, lo!" Seru Nara.

Setalah Adam menghabiskan kopinya dan memberikan uang lebih kepada kakek tua itu, Nara berjalan membuntuti Adam.

"Mba mau ngomong apa?" Tanya Adam saat sudah berada di parkiran.

"Nggak ada tempat lain gitu?" Nara memperhatikan sekelilingnya yang banyak kendaraan roda dua terparkir disana.

"Nggak ada. Ngomong sekarang atau saya tinggal," ujar Adam yang sudha bersiap untuk menggunakan helmnya.

Perkataan Adam membuat Nara mendengus kesal. Pasalnya, ini menyangkut hal-hal sensitif. Masa dibicarakan di parkiran. Adam gila.

"Menurut lo, kalo gue berubah jadi lebih baik gimana?" Tanya Nara dengn ragu.

"Bagus dong, Alhamdulillah."

"Tapi gue bingung harus mulai dari mana?" Tanya Nara yang kebingungan.

"Pertama, mba harus perbaiki dulu niat mba untuk hijrah itu untuk apa, karena semua tergantung niat."

"Niat gue buat apaan, ya?" Tanya Nara seperti orang bego.

"Niatkan semuanya karena Allah mba. InsyaAllah semua akan dipermudah." Nara mengangguk-anggukan kepalanya.

"Tapi gue lupa caranya sholat. Gimana gue mau niat karena Allah, sedangkan cara ibadah pun gue nggak ngerti." Adam terkejut akan pernyataan Nara.

"Kenapa wajahnya begitu? Jijik denger gue nggak pernah sholat? Gue emang pendosa, puas lo?"

"Nggak gitu maksudnya, mba."

"Terus gimana?"

"Ya sudah, kita ke masjid aja ya. Sambil sholat ashar."

Nara pun berboncengan menggunakan motor milik Adam untuk menuju masjid yang dimaksud oleh Adam.

"Gue nggak ngerti bacaan sholat, Dam. Gue harus baca apa?" Ujar Nara yang gelisah.

"Saya yakin mba bukan nggak ngerti, hanya lupa saja. Pasti kalo denger imam baca, mba pasti inget. Mukenahnya pasti ada di dalem. Yuk masuk." Adam berjalan mendahului Nara.

Sesampainya di tempat wudhu, Nara berpisah dengan Adam karena ada batasan antara temoat wudhu laki-laki dan perempuan

"Mampus, wudhu aja gue nggak paham gimana caranya," ujar Nara yang memaki dirinya sendiri.

Melihat ada seorang anak remaja mengambil air wudhu tepat disampingnya, Nara memperhatikan dengan teliti. Dan segera ia ikuti setelah ia pergi dan dengan tata cara yang tidak beraturan alias asal-asalan.

Maafkan Nara ya Allah yang begitu berdosa.

Setelah selesai, Nara mengambil mukena yang berada di lemari masjid. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengenakannya dan berdiri di shaf paling belakang.

Nara meneteskan air mata saat mendengar lantunan ayat-ayat suci al-quran dibacakan begitu indah. Hingga salam, Nara masih meneteskan air mata. Terlebih saat imam membaca istighfar, seolah setan dalam tubuh Nara menjauh. Tenang sekali hatinya berad ditempat ini.

Saat berdo'a pun, Nara begitu khusuk dan terhanyut dalam tangisnya.
"Ya allah engkaulah Tuhan seluruh alam, ampunilah segala kesalahanku. Baik dosa kecil maupun besar. Dosa yang hamba berbuat dengan sengaja maupun tidak sengaja. Tidak ada tuhan selain engkau wahai sang pengampun."

Nara memgusapkan tangannya di wajahnya. Ia langsung melepas mukenah dan ia lipat lalu masukkan kembali ke tempat semula. Terlihat sudah banyak orang yang meninggalkan masjid.

Nara langsung menuju depan masjid untuk menggunakan sepatunya kembali. Namun saat ia sedang menggunakan kaos kakinya, seseorang datang membuat Nara sedikit tersentak.

"Mba, saya mau ngajar anak-anak ngaji dulu. Kalo mba mau pulang dulu, silahkan."

Dengan mata yang sembab Nara menjawab, "Oke, gue pulang duluan."

Sepertinya Adam tak puas dengan jawaban Nara. Karena sebenarnya, ia menginginkan Nara merengek untuk tetap berada disini bersama dengannya lalu pulang bersamanya. Atau ia ingin mengajari Nara mengaji.

"Gue duluan, makasih." Nara bangkit dari duduknya saat selesai menggunakan sepatu. Ia melangkah pergi begitu saja meninggalkan Adam yang menyesali ucapannya.

"Astaghfirullah, maaf kan saya ya allah. Yang belum bisa membimbing hambamu untuk hijrah dijalan-Mu." Adam menyesal ucapnnya sendiri.

Nara berjalan sendirian dengan percaya dirinya. Ia tidak peduli dengan bisikan-bisikan orang yang mencemoohnya.

Sebenarnya, Nara ingin sekali menangis. Tapi, ia harus menahannya, karena tidak mungkin nangis sendirian di tempat umum seperti ini karena yang ada hanya akan mengundang perhatian publik.

"Sedih banget ya jadi gue," ujar Nara dalam hatinya yang mengkasihani dirinya sendiri.

Hingga saat Nara berjalan di jalanan yang sedikit sepi, seseorang memeluk Nara dari arah belakang. Saat Nara akan berontak, ia mengatakan, "ini gue koko, Nar."

Mendengar hal itu, Nara sudah tidak tahan lagi untuk menahan tangisnya. Nara langsung membalikkan badannya dan tenggelam dalam pelukkan Dareen. Ia menangis begitu kencang. Rasanya semua beban lepas begitu saja dalam pelukan hangat itu.

"Ko, orang kaya gue emang kayanya ngga pantes jadi baik, ya?" Ujar Nara saat disela-sela tangisnya.

"Sttt, nggak boleh ngomong gitu. Udah yaa sekarang ke mobil gue, malu disini dilihat orang." Dareen menuntun Nara masuk kedalam mobil yang tak jauh dari posisi Nara.

Sudah bisa dipastikan, Dareen mengikuti Nara.

------------

Jawa Tengah, 12 Juni 2021

Tentang Nara [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang