27. Merangkai Kisah bersama Fandi

22 10 10
                                    

Hadirnya memang teramat menyakitkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hadirnya memang teramat menyakitkan. Namun, segala hal tentangnya mampu mengobati sedikit kerinduan.

---------

"Gimana project di Bogor?"

"Aman, Pak. Alhamdulillah selama empat bulan, data penjulan terus meningkat dengan stabil. Walaupun di bulan ke 3 sempat mengalami penurunan dtastis yang hampir membuat perusahaan mengalami kerugian besar."

"Syukurlah."

"Sore ini saya ke Jakarta, ada urusan. Barangkali bapak mau nitip sesuatu pak?"

"Nggak perlu, yang penting selesaikan pekerjaanmu degan beres."

"Baik, pak."

Abi memutuskan panggilan telfon itu dengan pak Galuh dengan sopan. Sejak kejadian di Bogor, komunimasi antar Abi dan Nara reggang. Entahlah, sepertinya memang tidak ada hal yang perlu dibicarakan anatara mereka berdua.

Terkahir kali mendengar kabar mengenai Abi, ia marah besar kepada Nara yang tingkahnya seperti anak kecil. Ditambah Disya yang sok baik untuk membela Nara.

Nara sedang dalam masa pemulihan. Hatinya sedang berusaha tegar menghadapi kenyataan yang begitu pahit. Yang biasanya tiap pagi selalu ada seseorang yang mengabarinya untuk jangan lupa memunaikan sholat subuh, kini notifikasi itu telah tiada.

Justru Nara lihat, pada story whtsAppnya dia mengaplod foto sebuah cincin. Ditambah lagi ibu Salamah yang mengplod foto Ais, dengan caption "Bismillah calon mantu."

Nara terus membodohi dirinya sendiri. mengapa ia tidak pernah berfikir sampai kesana. Justru Nara berpikir bahwa Ais itu mungkin adik atau kakak Adam. Sebodoh itukah Nara?

"Mas Abi, ya ampun lama nggak ketemu, apa kabar?"

"Kabar baik, Alhamdulillah. Di ruangan ada siapa aja, Zul?"

"Cuma ada Nara, mas."

"Oke, duluan ya." Zulfa tersenyum.

Saat Abi membuka pintu ruangan yang dimaksud, ia melihat Nara yang sedang membaca berkas-berkas dengan serius.

"Serius banget, bu. Emang ngerti?" Sindir Abi dengan nada yang meremehkan.

Hal itu sontak membuat Nara yang semula fokus pada kerjannya menjadi buyar.

"Kalo masuk ruangan itu ketok dulu." Jawab Nara dengan ketus.

"Mau gue ketok atau gue dobrak sekalipun, bodo maat. Itu nggak penting." Abi justru mendudukan dirinya di soffa dengan kakinya yang naik ke atas meja.

Mendengar perkataan Abi, membuat Nara menahan emosinya. Lama tidak berjumpa, ternyata tingkahnya semakin meyebalkan.

"Ngapain sih lo balik lagi kesini? Sana gih ke Bogor. Nggak pulang sekalian."

Tentang Nara [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang