✨✨✨
Pagi hari di Ibu Kota. Seperti biasa, disambut bising suara knalpot. Jalan beraspal sudah penuh oleh lautan kendaraan. Kesibukan Jakarta membuat pagi tidak begitu akrab dengan orang-orang yang tinggal di sini.
Sinar mentari yang hangat dan penuh kelembutan meresap dalam jiwa setiap insan. Awan di atas sana terlihat cantik, secantik gadis mungil yang terbalut dress putih dengan aksen kerut serta surai hitam yang dibiarkan tergerai.
Di samping gadis itu terdapat sosok lelaki dewasa, mereka berjalan beriringan memasuki salah satu gedung pencakar langit. Sungguh, yang melihat pasti iri dengan kesempurnaan paras yang mereka—Stella dan Atlair—miliki.
Langkah keduanya berhenti di depan pintu bercat putih yang menjulang tinggi. Secara tidak sadar Stella meremas tangan Atlair, hal itu sering Stella lakukan pada saat datang ke tempat ini. Pun Atlair selalu menenangkan dan memberikan positive vibes pada Stella.
Kedatangan Stella dan Atlair disambut senyum manis seseorang yang duduk di kursi kebesarannya. Mereka langsung mengambil posisi duduk setelah dipersilahkan. Lima menit, waktu untuk ketiga sosok saling melontarkan kalimat, bertanya kabar sebagai formalitas.
Setelahnya, laki-laki ber name tag dr. Argino Marcello memerintahkan Stella duduk di kursi yang langsung menghadap jendela. Saat bolpoin dan selembar kertas terulur, dengan sigap Stella mengambilnya, lalu menuliskan apa yang ia rasakan dan alami dalam satu bulan ini.
Waktu berubah dari detik, menit menjadi jam. Stella bangkit saat Gino menyudahi kegiatan terapinya. "Bagaimana, keadaan Stella No?" tanya Atlair
"Seperti yang pernah saya katakan mas, keputusan untuk memberikan kesempatan Stella mengenal lingkungan baru bisa menjadi solusi sekaligus boomerang. Itu semua tergantung kepada Stella. Bagaimana Stella mengolah emosi yang ia dapat dari suasana baru tersebut, dan Stella membuktikan bahwa keputusan yang kita ambil sangat tepat," jelas Gino.
Stella bernapas lega, begitupun dengan Atlair. "Tapi No, kemarin Stella sempat pingsan dan masuk rumah sakit," sambung Atlair.
Gino tersenyum mendengar penuturan Atlair serta menatap Stella dengan lekat, tersirat makna bangga di dalamnya.
"Kebahagian batin menjadi solusi utama agar penderita mental sembuh, dan sekarang Stella dalam tahap itu. Kejadian kemarin tidak berdampak terlalu buruk untuk Stella. Kalau Stella bisa mengatur kondisi hatinya terus menerus saya bisa pastikan ini adalah terapi terakhir mas. Untuk selanjutnya bisa di handlle dengan obat."
Stella tersenyum haru karena bisa sampai dititik sekarang. Dulu, kata sembuh seolah tak akan dirinya dapatkan.
✨
Selepas pulang dari rumah sakit, Atlair menerima kabar kalau dia harus datang ke kantor. Alhasil, Atlair hanya bisa mengantarkan sang adik sampai depan gerbang, dan Stella tentu saja memaklumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BINTANG
Fiksi RemajaCover by @shana_publisher Budayakan follow sebelum baca🧡🧡 Hidup Estella Danica sudah berantakan sedari gadis itu masih berumur lima tahun. Berawal dari kepergian ayah, kematian bunda di depan mata kepala Stella sendiri. Kehidupan Stella dapat diu...