PHK

197 18 1
                                    

Pulang kerja aku biasa menunggu teman di dekat pemberhentian bus kota. Dia menyewa kostan di rumahku yang terletak di lantai atas. Sudah empat tahun tinggal bersama keluargaku. Dari sejak SMA hingga menjadi mahasiswi semester dua. Temanku sangat gigih, bisa bekerja sambil kuliah dan juga mengirimkan uang untuk orang tuanya ke kampung. Sedangkan di kostan Dia sering makan hanya dengan sambal dan nasi atau ditambah dengan daun rebus dibumbui sedikit garam.

Dia bagaikan adik bagiku. Sudah sewajarnya aku menjemputnya setiap hari tanpa pamrih. Meski tidak menjemputnya langsung ke pabrik tempat dia bekerja, dikarenakan jarak antara kantorku dan pabriknya berbeda arah dan sangat jauh. Aku berinisiatif menunggunya di pemberhentian bus agar bisa pulang bersama.

Di dekat pemberhentian bus terdapat pangkalan ojek. Disana aku menemukan banyak teman. Khususnya para lelaki, dan kebanyakan sudah berusia lanjut. Mereka tetap bisa tertawa meski ojekan sedang sepi. Yang menjadi kekuatan bagi para pencari nafkah adalah Istri dan Anak yang sedang menanti kedatangan suami membawa pendapatan seadanya.

Mereka banyak bercerita denganku tentang pahitnya hidup. Mahalnya sembako dan sempitnya lapangan pekerjaan. Belum lagi para petinggi yang tega korupsi uang Negara. Sedangkan rakyat dengan kewajiban harus membayar pajak. Hanya untuk kepentingan pribadi dan kepuasan nafsu duniawi. Mereka bersenang senang di atas penderitaan rakyat yang miskin.

Sudah menjadi rahasia umum ketika korupsi merajalela dan hukuman yang diberikan tidak setimpal. Aku rasa tahta yang bisa berkuasa di atas hukum.

Kebanyakan para ojek pengkolan di sini adalah mantan pedagang kaki lima. Tidak ada lagi tempat untuk mereka. Semua modal sudah habis karena dagangan tidak laku. Alhasil kini menjadi ojek, berharap ada yang menaiki motornya.

Pilihan terakhir adalah mencari nafkah dengan kendaraan sendiri demi menyambung hidup. Mencari penumpang sangatlah sulit. Karena orang lebih memilih menaiki Bus kota dengan biaya yang murah. Belum lagi jika kendaraan rusak dan harus mengeluarkan biaya perbaikan. Padahal uang tersebut sudah disisihkan untuk kebutuhan pangan.

Aku yang bekerja di perusahaan swasta dengan gaji UMR. Sudah pasti akan menerima gaji setiap bulan, dan berpikir panjang mengeluarkan uang untuk sesuatu yang kurang penting. Harus berhemat sampai bulan kedepannya. Dan tidak lupa menabung untuk masa depan.

Disini aku kebanyakan menyimak daripada bicara. Tidak bisa memberi solusi kepada mereka karena tidak punya pengalaman hidup seperti mereka. Sesekali aku menyahut obrolan dengan bijak. Mereka sungguh memberiku banyak cerita.

Tidak terasa bosan menunggu disini meski senja akan berganti malam. Temanku juga belum terlihat. Mataku terus memperhatikan setiap bus yang berhenti. Tidak ada seorangpun turun dari sana. Hingga aku memutuskan menghampiri halte bus di seberang jalan. Banyak orang yang duduk sembari memainkan ponsel dan ada juga yang tertidur pulas. Satu persatu kulihat tidak kutemukan keberadaannya.

Aku kembali kepangkalan ojek. Masih menunggunya hingga waktu azan. Akupun melanjutkan perjalanan ke masjid, setelah itu kembali lagi ke pangkalan ojek. Nomor dia pun tidak bisa dihubungi. Aku semkin khawatir dengannya. Mencoba berkeliling di sekitar jalanan.

Aku kembali lagi ke pangkalan ojek. Berharap temanku sedang menunggu di sana.

Benar saja, Dia duduk sendirian di redupnya lampu jalanan. Tidak seorang pun berada di sana. Para ojek sepertinya tidak bekerja di malam hari atau beristirahat sementara di rumah. Aku tidak pernah tahu situasi di sini pada malam hari. Jalanan yang dipenuhi manusia yang berlalu lalang kini tampak sedikit sepi dan hening.

Aku menghampirinya yang sedang duduk meringkuk menangis sendirian. Akupun bertanya dengan sedikit kesal, "Darimana saja kamu?!"

Temanku tertunduk menangis, Tidak ada jawaban darinya. Bahkan terus menangis dan menutup wajah dengan kedua tangannya.

Aku bergeser posisi dan duduk lebih dekat dengannya, bertanya dengan tenang, "Kamu kenapa?"

Dengan suara serak dia menjawab, "Aku di PHK." tangisnya kembali pecah dan terdengar nyaring.

Tidak ada yang bisa ku katakan. Kata sabar tidak akan menghilangkan kesedihannya, Dan solusi tidak bisa kuberikan saat ini.

"Ayo kita pulang dulu. Tenangkan pikiran dan kita cari solusi bersama." ucapku, menyalakan motor dan kembali pulang bersama.

Temanku adalah tulang punggung keluarga dan juga mempunyai impian yang tinggi. Tidak peduli betapa lelahnya menjalani hari. Dia terus melakukan aktifitasnya tanpa mengeluh. PHK merupakan ujian yang sangat berat baginya. Tidak hanya memikirkan diri sendiri. Namun juga nasib orang tuanya.

Sementara mendapatkan pekerjaan baru, temanku tetap mengirimkan uang seadanya agar keluarganya di sana tidak mengkhawatirkannya.    

Terima kasih sudah membaca dan jangan lupa beri vote dan tinggalkan komentar ya 😀😉

Semoga kalian suka dengan ceritanya 😁😎

Aku juga mau rekomendasikan cerita yang lainnya: Pernah Berakhir

                                                                                                              : Teka Teki Sepatu

Kalian juga boleh follow akun sosmedku juga: Instagram dan Tiktok @Sucimutiara96

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang