Pengorbanan

349 21 4
                                    

Merantau dari Medan ke Jakarta. Berharap dapat merubah status hidup dari yang sederhana bermimpi menjadi kaya. Dengan mengandalkan ijazah dengan hasil nilai cumlaude, memberanikan diri melangkah meninggkan kampung halaman. Meski tidak menjaminku untuk bisa diterima bekerja di perusahaan besar. Di perantauan aku ngontrak di salah satu rumah di gang kecil bagaikan labirin. Untuk menuju ke jalan besar saja harus menempuh setengah kilometer. Dengan bermodalkan nekat dan uang seadanya, aku melangkah dengan restu orang tua. Dan pertentangan dari pacarku.

Tidak tega rasanya melihat Ayah memikul barang berat di pasar dengan tubuh yang mulai meringkuk. Tidak peduli dengan keadaannya yang kadang merasa kesakitan selesai bekerja. Kadang menaruh banyak koyok di punggungnya. Di pelipis dan bau minyak angin yang teroles di sekujur tubuh.

Secangkir kopi dan sebatang rokok menemaninya di malam hari sekedar melepas penat, katanya. Sudah berulang kali aku melarang Ayah, karena sering batuk dan paru-parunya telah bermasalah. Memang Ayah sudah mengurangi rokok dari biasanya yang  menghabiskan satu bungkus rokok. Kini menjadi dua batang rokok.

Ayah bertambah semangat kerja ketika tiga tahun yang lalu aku dinyatakan lulus masuk ke Universitas negeri dengan beasiswa. Aku menjadi terkenal di pasar karena Ayahku bercerita ke teman-temannya. Bahwa aku lulus tanpa tes dengan beasiswa. Pujiannya menyemangatiku belajar hingga aku meraih nilai cumlaude.

Sekarang aku lulus kuliah. Melamar pekerjaan ke banyak tempat dengan harapan bisa diterima. Dengan keyakinan penuh  aku yakin bisa merubah nasib menjadi lebih baik. Kenyataan yang pahit. Nilai tidak menjamin masa depan seseorang. Teman temanku dengan nilai yang tidak bagus, sudah banyak yang bekerja dari usaha dan bahkan dari koneksi orang tuanya.

Seorang teman mengajakku untuk bekerja di perusahaan tempat dia bekerja. Dengan imingan gaji besar dan hidup akan sejahtera. Aku tidak langsung menyetujuinya. Ada Ayah yang harus kujaga di sini dan Adik yang masih melanjutkan pendidikan di SMA. Aku diberi waktu selama seminggu untuk berpikir karena kesempatan tidak akan datang dua kali. Banyak yang membutuhkan pekerjaan saat ini. kata temanku. Dan aku harus meminta restu dari Ayah yang telah berjuang untukku dan adikku.

Ketika pulang kerja Ayah langsung berbaring di ruang tengah, menyalakan kipas dan memandang kelangit rumah dengan pandangan kosong, perlahan aku mendekati Ayah dan memijat kakinya.

"Maaf Ayah. Aku belum bisa dapat kerja." kataku dengan rasa bersalah.

"Rezeki itu sudah diatur Allah. Jadi kamu tidak perlu khawatir, asalkan kamu tetap berusaha Insha allah kamu bakalan sukses nantinya. Mungkin rezeki kamu bukan di kota ini mungkin di tempat lain." kata Ayah seperti sudah tahu apa yang aku katakan.

"Ayah. Bolehkan aku ke Jakarta. Rafi ditawari kerja oleh teman. Katanya pekerjaan itu pasti ada. Kalau Ayah mengizinkan aku bakalan berangkat besok malam.

Ayah bangkit dari tidurnya dengan pelan. Dia meringkik menyentuh punggungnya yang sakit. Aku bertambah iba meninggalkan Ayah di sini. Disisi lain aku harus merubah nasib keluarga yang tidak kunjung bangkit dari kemiskinan.

Aku menyandarkan ayah di dinding tepas yang mulai mereyot. Tempat ini tidak layak lagi untuk ditinggali. Pikiranku sudah jauh untuk mengajak Ayah dan adik pindah ke rumah yang layak huni.

"Pergilah." kata Ayah. "Kemasi pakaianmu malam ini."

Ayah berdiri masuk ke dalam kamar dan aku segera memasukkan pakaian ke dalam tas. Tidak banyak yang kubawa. Karena pakaianku tidak banyak.

Ayah masuk ke dalam kamarku. Menyerahkan uang yang digulung dengan karet. Uang simpanan selama bekerja sebagai kuli. Diserahkannya kepadaku dan menyisakan sedikit untuk kebutuhan Adik.

Saat itu aku menangis untuk pertama kalinya setelah Ibu meninggal ketika masih kecil.

Ayah memelukku dengan erat. Mendoakan agar aku mendapatkan kehidupan yang baik di sana. Aku berjanji dengan setulus hati akan membawanya ke Jakarta.

Malam itu Pacarku Lala datang dengan sahabatnya. Dengan kendaraan mobil yang tidak setara dengan kehidupanku. Untuk membeli motor saja aku tidak mampu. Setiap hari cuma bisa numpang dengannya. Kebetulan juga kantornya dan kampusku berdekatan. Dia berusia empat tahun lebih tua dariku. Dan bekerja di perusahaan Ayahnya.

Dia mengajakku ke sebuah restoran untuk merayakan kenaikan jabatan. Mentraktirku untuk kesekian kalinya dengan uangnya. Aku bagaikan adik baginya. Karena aku masih memanggilnya kakak sesekali.

Aku telah menyiapkan bunga mawar dari hasil tabungan. Hadiah pertama yang kuberikan selama dua tahun pacaran. Di restoran ini sahabatnya juga menyiapkan hadiah untuknya. Aku merasa sedikit minder dengan hadiahku. Sesaat di bersin ketika menyentuh Bunga pemberianku.

Dia berlari ke toilet dan aku mengikutinya. Saat hendak kembali ke meja makan. Aku mengajaknya bicara ke luar untuk mengatakan aku akan berangkat ke Jakarta besok pagi. Tentu saja dia tidak menerima begitu saja. Pertama kalinya aku berteriak kepadanya hingga muncullah sahabatnya mendekati kami yang sedang memanas.

Hingga esoknya aku berangkat dan meminta sahabatnya untuk menjaganya selagi aku di Jakarta. Lala tidak mau memahami keadaanku. Hanya memikirkan perasaanya sendiri. Dan aku juga terlalu gengsi untuk mengucapkan, "Selamat tinggal."

Ayah tidak bisa mengantarku ke terminal. Mungkin sedang menangis di rumah melepas kepergianku ke Jakarta. Dan pacarku berusaha menahan tangis dihadapanku. Sedih meninggalkan dua orang yang kusayang. Yang telah berkorban untukku.

***

Sudah lima tahun aku di Jakarta. Dalam sekejap aku memiliki mobil, fasilitas dari kantor. Dan memiliki jabatan tinggi. Karena kini aku berkencan dengan anak direktur. Perjalanan karirku sangat mulus. Hingga aku menerima satu pesan email dari pacarku di sana. Memastikan hubungan jarak jauh selama ini. Dengan menyesal aku memutuskan hubungan dengannya. Aku memang salah membiarkannya menungguku selama ini. Dan tidak memberikan kabar selama lima tahun hingga meminta kepastian padaku. Kini Ayah dan Adikku tinggal bersamaku di Jakarta. Aku berhasil menepati janji kepada Ayah dan mengorbankan Lala demi kebahagiaan keluargaku.

Terima kasih sudah membaca dan jangan lupa beri vote dan tinggalkan komentar ya 😀😉

Semoga kalian suka dengan ceritanya 😁😎

Aku juga mau rekomendasikan cerita yang lainnya: Pernah Berakhir

                                                                                                              : Teka Teki Sepatu

Kalian juga boleh follow akun sosmedku juga: Instagram dan Tiktok @Sucimutiara96

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang