Dariku

260 17 3
                                    

Tidak tahu kenapa. Aku merasa bosan dengan rutinitas keseharian. Dari berangkat hingga pulang ke rumah. Hanya melakukan hal yang sama setiap harinya. Aku berpikir kenapa waktu berjalan begitu cepat. Baru saja bangun dari tidur sekarang sudah sampai di rumah dan sedang berada di kamar. Membaca buku, menulis dan beribadah. Tidak ada yang bisa kulakukan selain itu. Sepertinya hidupku hanya berjalan di tempat yang sama dengan waktu yang berbeda. Menunggu gaji setiap bulan lalu membelanjakannya hingga uang tersebut habis dan begitulah seterusnya hingga bulan ke bulan. Dan kini berganti tahun.

Melewati jalan yang sama, tetangga yang silih berganti di kontrakan sebelah. Belum lagi di julidin dengan tetangga karena pulang malam. Padahal sih aku sedang lembur untuk mencari penghasilan tambahan. Kalau nganggur dikira pemalas. Aku juga jarang bertemu teman. Hari libur kumanfaatkan untuk membersihkan rumah dan beristirahat sepuasnya. Sesekali kalau rindu aku menghubungi teman untuk bertemu dan membicarakan yang itu saja. Tidak ada perubahan dari kami. Dari SMA hingga kini berusia dua puluh lima tahun.

Aku dan keempat temanku belum ada yang menikah dan punya pacar. Sedangkan yang lainnya sudah berganti status. Dari lajang hingga menjadi suami atau istri. Ada juga yang menjadi duda dan janda di usia muda.

Ingin rasanya melakukan sesuatu yang berbeda. Misalkan keluar kota seperti teman temanku lainnya yang sibuk dengan aktifitasnya bersama alam. Mengahabiskan waktu untuk menghibur diri. Atau berbelanja dan bergabung dengan komunitas dan berkumpul dengan banyak orang. Nyatanya aku lebih suka berbaring di ranjangku yang tidak begitu nyaman. Tubuhku terasa lelah meski tidak melakukan apapun saat libur. Mungkin sisa-sisa dari pekerjaanku selama seminggu.

Memegang ponsel, ujung ujungnya membuka social media. Melihat status teman yang sudah terlebih dahulu melangkah maju jauh di depanku. Mereka terlihat glowing dengan seragam kerjanya. Kendaraannya, stylenya dan juga wajah mereka terlihat berbeda dari masa sekolah hingga aku hampir tidak mengenal mereka. Teknologi sekarang bisa merubah seseorang. Dari fisik hingga perilaku. Apapun aktifitas yang dilakukan dapat dilihat dari status social media.

Beberapa bulan terakhir aku mulai diusik dengan pertanyaan yang menjengkelkan. Kapan nikah? Pertanyaan itu membuatku depresi setengah mati. Kenapa mempertanyakan hal tersebut padahal aku saja belum siap dan tidak punya pasangan. Aku pernah berpikir untuk menikah muda. Melihat temanku yang menikah hampir rata rata hanya bertahan bulanan atau paling lama beberapa tahun dan cerai. Menjadi janda atau duda, depresi dan akhirnya anak terlantar.

Aku ingin siap lahir dan bathin. Pernikahan sekali seumur hidup. Aku tidak ingin menyusahkan kedua orang tua kelak setelah menikah. Membahagiakan mereka meski surgaku berada pada suami. Mendidik anak bersama dengan baik. Intinya aku ingin kebahagiaan. Aku tahu semua orang menginginkan ini. Tetapi aku tetap saja harus memilah calon pasangan yang terbaik menjadi kepala keluarga untuk masa depan.

Aku terus berpikir tanpa bergerak. Mencatat semua aktifitas di buku agar berjalan teratur dan konsisten. Menghidupkan alarm agar bisa bangun lebih pagi. Belajar di saat orang terlelap. Itu semua sudah kutulis di buku jurnalku dengan rapi. Hingga keuangan saja aku tulis agar jelas pemasukan dan pengeluaran. Semua itu hanyalah sebuah agenda yang tertulis tanpa aksi.

Akhirnya aku menemukan cara untuk bisa merubah kebiasaanku yang monoton.

Berangkat kerja menggunakan sepeda setiap hari. Biasanya aku menggunakan motor yang menambah polusi udara dan mengurangi biaya bahan bakar. Kini aku bisa menabung lebih banyak setiap bulannya. Tubuhku terasa sehat dan jerawatku juga sudah berkurang.

Menggunakan ponsel hanya tiga jam dalam sehari, Mengurangi rasa penasaran dengan kehidupan orang lain yang membuat diri semakin insecure. Mengikuti berbagai kelas online. Memiliki banyak teman meski tidak pernah berjumpa dan merasa tertantang ketika dilakukan event di dalam grup.

Semua itu tidak berjalan lama. Aku kembali bosan dan ingin melakukan yang orang lain lakukan padahal aku tidak mampu melakukannya.

Entah aku sedang iri atau tidak ingin beranjak dari zona nyaman. Yang jelas aku sungguh jenuh dengan sekelilingku.

Terjebak oleh pikiran sendiri dan merasa semua orang sedang menjauhiku. Aku semakin takut ketika orang lain menganggapku tidak baik. Pikiran orang-orang tentangku sangat mengganggu kejiwanku. Tidak ada lagi yang peduli denganku. Semuanya terfokus menilaiku.

Semuanya yang buruk tergambar dalam pikiranku. Seakan aku mengalaminya sendiri. Inilah yang kurasakan saat ini. Apakah hanya aku yang merasa seperti ini? Atau orang lain pernah mengalaminya? Aku terus saja berimajinasi, berandai dan menjadi sutradara untuk diriku sendiri. Aku menggenggamnya dalam ingatan. Mengarahkannya sesuai kehendakku. Akulah sutradara, penulis sekaligus pemain untuk kehidupanku.

Segalanya telah aku rencanakan dalam pikiranku di dunia nyata. Aku berandai untuk menjadi seseorang yang dihormati, pemurah hati, dikenal banyak orang dan banyak yang ingin kuciptakan dalam pikiranku. Hanya untuk membuat kesenangan sesaat.

Semua itu menguras pikiran dan hidupku. Aku menginginkan kehidupan orang lain yang tidak mungkin aku gapai.

Apakah aku seseorang yang rakus menginginkan segala yang dimiliki orang lain. Jawabannya iya. Aku salah dan aku ingin berubah. Aku harus berusaha, belajar dan beraksi dengan kemampuanku.

Tidak sengaja menemukan kalimat yang membuat aku tersadar dan tidak akan kukatakan disini. Aku hanya perlu bahagia dengan caraku sendiri. Melakukan apapun yang kusuka. Diterapkan dalam diri hingga merubah hidupku lebih bermakna. Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Di saat pandemic sekitar setahun yang lalu. Sungguh merasa bosan ketika kegabutanku meningkat. Di rumahkan selama beberapa bulan. Tidak punya penghasilan seperti biasa dan tidak punya apapun untuk dibelanjaka. Tahun yang untuk semua orang. Tidak hanya kehilangan pekerjaan. Seketika aku dirundung ketakutan tentang kematian. Belum lagi hanya berkurung diir di dalam kamar tanpa melakukan apapun selama sebulan. Aku hanya belum terbiasa dengan keadaan ini. Aku terus berpikir cara untuk melakukan hal positif selama di rumah.

Meningkatkan ibadah salah satunya. Dan aku juga mencoba menulis karya fiksi. Saat itu aku sungguh berpikir keras menuangkan ide ke dalam tulisan. Tidak mudah melakukannya. Banyak yang mengatakan menjadi penulis itu mudah. Ya, menulis saja terus. Aku sudah melakukannya dan itu tidak bisa dijadikan solusi. Banyak membaca juga bisa menjadi inspirasi untuk sebuah ide dalam berkarya. Dapat menemukan banyak kata dan gaya bahasa yang bisa menjadi pedoman.

Kini aku sudah punya beberapa karya di sebuah aplikasi dan juga mengikuti lomba online. Aku akan terus menulis sebagai pengganti teman curhatku.

Terima kasih sudah membaca dan jangan lupa beri vote dan tinggalkan komentar ya 😀😉

Semoga kalian suka dengan ceritanya 😁😎

Aku juga mau rekomendasikan cerita yang lainnya: Pernah Berakhir

                                                                                                              : Teka Teki Sepatu

Kalian juga boleh follow akun sosmedku juga: Instagram dan Tiktok @Sucimutiara96

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang