Lapangan Hijau

161 13 3
                                    

            Di tengah kota terdapat lapangan hijau yang terbentang luas di pinggir jalan besar. Ketika sore hari banyak orang yang menghabiskan waktu bermain di sana. Beberapa pedagang kecil mengambil peruntungan di sekitar area lapangan untuk melariskan dagangannya. Terdapat warung kecil di seberang lapangan tempat berkumpulnya anak muda yang memperhatikan masyarakat sekitar sana sedang memainkan layangan berukuran besar. Seakan berlomba menerbangkannya setinggi mungkin.

Beberapa anak hanya berlari ke sana kemari untuk meramaikan suasana agar menjadi riuh.

Aku mengendarai sepeda diantara banyaknya kendaraan yang melintas. Menjajaki sore dengan penat yang kubawa ke rumah. Kaki ini sudah lelah menggenjot sepeda yang baru di beli sekitar dua bulan yang lalu. Dari hasil gaji yang disisihkan selama beberapa bulan. Hasilnya aku berolahraga pagi sore tanpa harus menunggu hari libur.

Matahari tidak lagi bersinar terang dan akan berganti malam. Waktu akan terus berganti tanpa disadari esok akan kembali pagi. Disambut dengan mentari dan kadang dihadang oleh hujan. Cuaca tidak bisa ditebak sama seperti usia tidak akan tahu kapan ajal akan menjemput.

Sore itu tidak sengaja bertemu dengan sepasang bola mata di lapangan yang tengah berdiri bersandarkan pohon rimbun yang mulai berguguran. Lelaki paruh baya berkulit hitam dengan senyum yang tertutup oleh kumis tebal nan hitam. Aku berdiri di sampingnya sekedar untuk menyapa sebagai teman anaknya yang dulu pernah berteman di bangku sekolah. Saat mengenakan seragam putih dongker dengan wajah yang masih kelabu.

Aku menyapanya sedikit ragu. Karena sudah lama sekali kami tidak bertemu dan kini Lelaki itu terlihat jauh lebih tua saat terakhir bertemu. Aku memberanikan diri mendekatinya untuk bernostalgia menanyakan kabar anaknya yang dulu pernah menjadi teman kelompok saat di kelas. Pertemanan kami hanya sebatas say, "Hai." Tidak banyak cerita diantara kami. Hanya saja si Bapak pernah menjadi penolongku saat motorku mogok di jalan.

Bebagai cara dilakukannya untuk menyalakan motorku yang harusnya segera pensiun. Aku tahu motor itu sudah tidak layak di pakai. Keadaan mengharuskanku memakainya sampai ada rezeki untuk membeli yang baru.

Cara terakhir yang bisa dilakukan Bapak adalah membantuku mengantar motor tua ke bengkel terdekat.

"Pak." kataku dengan senyum tipis.

Si Bapak menoleh ke arahku dengan menyipitkan matanya. "Ya." jawabnya. Membalasku dengan senyum lebar yang tulus, pandanggannya kembali keatas memperhatikan layang-layang berada di udara.

"Sehat pak?" tanyaku.

"Alhamdulillah sehat." jawab Bapak melipat kedua tangannya ke belakang.

"Gimana kabarnya Raka?" kataku.

Si bapak diam tidak menjawab. Pandangannya tidak beralih sedikitpun ke arahku. Aku merasa diabaikan dan sedikit menjaga jarak, membeli jajanan kecil yang ada di pinggir lapangan.

Tidak tahu kenapa melihat orang tua berdiri sendirian di tengah keramaian seperti ini merasa kasihan dalam hati. Tidak bisa menemaninya lebih lama karena maghrib akan segera tiba. Aku mengambil sepeda dan menggantung jajanan yang dibungkus plastic hitam di stang sepeda lalu kembali mendekati kembali si Bapak yang memandang kosong mengikuti arah tarikan tangan yang akan menuruni layangannya.

"Duluan pak." kataku yang akan siap mengkayuh sepeda.

"Sebentar." kata Bapak menahanku.

"Ya pak." jawabku turun dari sepeda.

"Kamu temannya Raka?" tanya Bapak.

"Benar, pak. Saya teman sekolah nya dan pernah juga sekelas."

"Bapak cuma mau bilang Raka sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu karena kecelakaan. Enggak banyak temannya yang tahu. Karena kejadiannya di luar kota." kata Bapak "Maafkan kalau Raka ada salah selama ini." lanjut Bapak dengan senyum yang sedang menahan tangis.

Aku mengangguk pelan dan juga merasakan kesedihan yang dialami keluarganya. Entah mengapa hati ini terasa tersayat seakan Raka mempunyai banyak kenangan dalam hidupku. Mataku mulai berair entah karena menahan tangis atau angin di sore ini mencoba merayuku untuk segera pulang ke rumah. Di perjalanan pulang tak terasa tangisku pecah. Segera aku menyekanya sebelum sampai di rumah. 

Terima kasih sudah membaca dan jangan lupa beri vote dan tinggalkan komentar ya 😀😉

Semoga kalian suka dengan ceritanya 😁😎

Aku juga mau rekomendasikan cerita yang lainnya: Pernah Berakhir

                                                                                                              : Teka Teki Sepatu

Kalian juga boleh follow akun sosmedku juga: Instagram dan Tiktok @Sucimutiara96

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang