Dila berjalan mengendap endap menuju tangga luar rumah yang menghubungkan antara kamarnya dan halaman. Melihat keadaan sekitar memastikan tidak ada yang melihatnya malam ini. Lolongan anjing tetangga bersautan melihat Dila memanjat pagar rumahnya. Ketika keadaan sudah aman. Dila melakukan aksinya. Kembali ke kamar lewat jalur tangga darurat yang dibuatnya dari tali. Seperti film action yang menampilkan adegan sang tokoh utama sedang melakukan aksinya untuk menyelamatkan dirinya dari serangan penjahat. Itulah yang terlintas di pikiran Dila pertama kali melakukan aksi ini di tengah malam.
Dengan bersusah payah menuju kamar lantai dua. Dila disambut oleh uluran tangan dengan genggaman erat. Aksinya pertama kali diketahui oleh Papanya, menggunakan piyama dan kacamata untuk memperjelas penglihatannya.
"Apa yang kamu lakukan!?" Papa menjewer telinga Dila masuk ke dalam kamar.
"A-Aku." kata Dila gelagapan.
"A-apa. Mau bilang apa!?" tanya Papa berkacak pinggang sembari berteriak.
"Aku tadi, barusan." Berusaha mencari alasan. "Aku?" Dila berpikir keras hingga akhirnya penghuni lain di rumah ini masuk ke kamar, dengan tubuh yang setengah sadar dan terkejut mendengar suara Papa.
"Apa yang terjadi?" tanya Fahri sepupu yang seumuran dengannya.
"Aku baru pulang lewat pintu kamar." kata Dila.
"Apa?" Sontak Fahri kaget seakan tidak percaya dengan yang di dengarnya barusan.
Lampu menyala terang di kamar, Dila diapit oleh kedua lelaki yang akan menginterogasinya. Berada di tengah kecemasan mencari alasan tepat agar Papa dan Fahri tidak bertanya lebih jauh alasannya pulang larut malam.
"Sumpah! aku hanya ingin pulang malam." kata Dila.
Mereka tetap melihatnya dengan tatapan yang penuh tanya.
"Maksudku. Aku hanya-" Dila menunduk mencoba mencari alasan lain.
Hosh...
"Cepat katakan." desak Papa. Dila semakin gugup. Takut ketahuan rencana yang telah dibuatnya bersama Fahri.
Dila memlototi Fahri agar membantunya keluar dari keadaan ini.
"Apa?" desis Fahri tidak mau tahu.
Papa melipat kedua tangannya mengetuk sebelah kakinya di lantai dengan sorot mata yang tidak lepas dihadapan Dila.
"Aku. Hhmm. Sebenarnya aku mau berikan Papa-"
"Uhhhuuuk." Fahri mendadak batuk. Kali ini gilirannya untuk menjawab penasaran Papa.
"Kamu kenapa? Pergi minum sana!" kata Papa.
"Cuma tersedak sedikit kok Om. Biasanya kalau tiba tiba batuk ada yang ngomongin kita." jelas Fahri. Alasan yang tidak masuk diakal.
"Kita? Lo aja kali." kata Dila mencairkan suasana dengan tawa kecilnya.
"Dila, jawab?" seru Papa "Tidak baik anak gadis pulang selarut ini. Apapun jawabannya Papa tidak akan marah."
"Iya Pa. Aku tahu. Tapi Janji ya?" Dila mengacungkan jari kelingkingnya.
"Apa itu!?" tanya Papa.
"Ini perjanjian. Papa harus memeluk kelingkingku dengan erat. Itu cara kami untuk mengikat janji." jelas Dila melekatkan kedua kelingking dan Fahri menjadi saksi atas perjanjian kekanakan ini.
"Aku tadi belajar kelompok di rumah teman-" Papa semakin melotot. "Kan Papa melotot. Padahal aku mau ngetest aja."
"Oke. Kali ini serius. Jawab yang jujur."
"Sebenarnya..." kata Dila. Menoleh ke arah pintu.
Fahri segera keluar kamar, kembali masuk membawa sebuah kotak kecil .
"Tadaaa.." kata Fahri menunjukkan sebuah kotak.
"Apa ini?" tanya Papa sembari membuka kota tersebut.
Sebuah cincin pernikahan Papa dan Mama yang sempat hilang sekitar belasan tahun yang lalu. Cincin ini ditemukan di ruangan kerja Mama yang tidak pernah dihuni sejak beliau
meninggal dunia."Selamat hari Papa sedunia." kata kami serempak..
Tidak ada rasa haru dari kejutan itu. Keadaan menjadi hening setelah melalui interogasi yang menegangkan.
"Jadi alasan kamu pulang malam apa?" tanya Papa kembali.
"Begini Pa. Cincin ini aku temukan di ruang kerja Mama. Saking senangnya cincin ini aku perlihatkan pada temanku. Rencananya makan malam ini aku mau kasih ini ke Papa. Tapi cincin ini tinggal di rumah teman dan harus kujemput. Sampainya di sana temanku nggak ada di rumah. Aku telpon dia dan katanya bakalan pulang agak larut. Aku tungguini deh. Hasilnya Papa salah paham. Begitu Pa." jelas Dila.
Papa mengangguk kuat dan berlalu keluar. Terlihat Papa memasangkan cincin itu di jari kelingkingnya. Sebelumnya cincin itu terpasang di jari manisnya. Dikarenakan kondisi Papa semakin membengkak, cincin itu hanya bisa dikenakan di jari kelingking. Dila dan Fahri menatap heran melihat tingkah Papa. Tidak ada reaksi senang ataupun sedih.
Terima kasih sudah membaca dan jangan lupa beri vote dan tinggalkan komentar ya 😀😉
Semoga kalian suka dengan ceritanya 😁😎
Aku juga mau rekomendasikan cerita yang lainnya: Pernah Berakhir
: Teka Teki Sepatu
Kalian juga boleh follow akun sosmedku juga: Instagram dan Tiktok @Sucimutiara96
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
General FictionBerbagai kisah dan genre terdapat di cerpen ini. Disajikan secara menarik untuk menarik perhatian pembaca.