Mery merupakan pengusaha muda dengan membuka banyak restoran hampir seluruh kota di Indonesia. Pencapaiannya saat ini menurutnya tak lain adalah berkat dari usaha dan kerja kerasanya selama bertahun tahun.
Mery dikenal sebagai wanita yang beruntung bisa mencapai usaha ini dengan sangat mudah, kata orang orang yang menilainya. Usahanya di bidang ini merupakan impiannya sejak kecil. Ingin menjadi chef di restoran terkenal agar bisa memasakkan orang tuanya makanan yang enak setiap hari.
Dia sering membawakan makanan menggunakan rantang untuk sang Ayah saat bekerja di sawah. Sejak berumur lima tahun Mery sudah bekerja di sawah bersama Ayahnya sekedar membantu.
Selesai orang tuanya makan, Mery kembali memasak di rumah dengan bahan seadanya yang ada di dapur. Seperti olahan ubi dan beras yang bisa dijadikan makanan dengan rasa yang berbeda. Hingga Mery berpikir untuk menjadi chef di restoran terkenal.
Ketika mery lulus dari sekolah dengan jurusan tataboga. Dia sempat berpikir untuk membuka warteg di halaman rumah untuk membantu orang tuanya yang semakin tua dan sering mengalami sakit. Kadang tidak bisa bekerja dan kami hanya makan seadanya. Bahkan makan dengan nasi dan daun singkong rebus di bumbui garam atau yang lebih parahnya memakan singkong rebus seharian.
Mery tidak sanggup hidup dalam kemiskinan dan belas kasihan penduduk desa dengan memberikan hasil kebun milik mereka. Justru hasil kebun itu harusnya dijual dan hasilnya diberi untuk keluarga.
Celengan yang disimpan selama lima tahun hasil kerja dari mengurus sawah orang lain digunakannya untuk membuka usaha warteg di luar Desa.
Sang Ayah mengetahui niat mulia anaknya tersebut. Diam-diam menjual sawah untuk modal sang anak agar merantau keluar kota. Membuka kuliner di lingkungan desanya tidak akan membangkitkan ekonomi keluarga. Selain harga yang di jual harus murah. Penduduk di sini lebih menikmati makanan yang dibuatnya sendiri.
Mery telah menghitung hitung hasil tabungannya yang tidak seberapa. Tabungannya sering di ambil sedikit demi sedikit demi kebutuhan pangan.
Untuk menambah modal usaha. Mery bekerja di sawah milik orang lain demi orang tuanya. Yang menjadi semangatnya hanyalah orang tua yang sudah membesarkannya dengan kasih sayang. Waktu terus berjalan, tahun terus berganti. Keadaan masih seperti ini. Tabungan Mery masih belum cukup untuk hidup di kota besar.
Semangatnya masih membara. Setahun mungkin tidak akan cukup mengumpulkan uang. Mery membuat jangka waktu dan berusaha sehemat mungkin agar bisa membuka warteg atau melamar di restoran sebagai chef.
Selama setahun lamanya dengan urusan yang berbelit dengan perangkat desa untuk menjual tanah yang merupakan warisan dari sang Kakek. Uang yang di dapatkan segera diberikannya kepada Mery.
Awalnya Mery menolak pemberian Ayahnya. Berkat nasehat dan dukungan penuh dari orang tua. Mery menerimanya dan berjanji akan kembali dengan kesksesan.
Ayahnya berkata, "Jangan berjanji ketika senang. Kebanyakan orang akan lupa akan janjinya karena telah mendapatkan kesenangannya.
"Tidak Ayah. Aku akan berhasil. Doakan mery ya."
Itu percakapan yang teringat oleh Ayahnya saat ini di Desa. Sudah bertahun lamanya sang Anak tidak kembali ke rumah. Begitu juga kabar tentangnya hanya harapan yang bisa meredam rasa rindu. Setiap rantang yang tiba di pinggiran sawah. Teringat Mery yang berlari sembari menenteng rantang untuk orang tuanya.
Sang Ayah mendengar kabar dari tetangganya yang merantau ke Jakarta. Bahwasannya Mery telah sukses dan memiliki mobil mewah.
Kabar bahagia ini tidak di dapatkan langsung dari Anaknya. Hati ini masih saja sedih meski Mery telah meraih impiannya dan belum menepati janji untuk kembali bersama kesuksesan.
Setiap kali mobil yang melintas di jalan. Matanya tidak lepas dari mobil itu, hingga hilang dari pandangannya. Umur semakin berkurang di dunia. Sakit yang di derita semakin parah. Sang anak belum juga kembali ke rumah sekedar untuk berkunjung sesaat. Jikalau tidak sempat berilah kabar tentang dirinya di kota sana. Ketakutan akan kematian terus menghampiri dirinya.
Sang Ayah kini berjalan meringkik dengan pegangan dinding kayu yang mulai lapuk.
***
Di Jakarta Mery sedang sibuk dengan bisnisnya berkunjung dari satu kota ke kota lain. Restoran selalu ramai oleh pengunjung. Masakan kampung yang dulu, kini menjelma menjadi olahan lezat untuk kalangan elite bahkan dengan harga melejit menjadi menu utamanya. Mery terus mengeluarkan ide masakan untuk memajukan restorannya. Hingga lupa pulang ke desa tempat kelahirannya. Disana tumbuh besar bersama harapan dan menjadi kesuksesan sesuai harapan.
Bergelimang kekayaan merupakan dambaan banyak orang. Bisa membeli apa yang diinginkan dengan sekali gesek. Uang adalah segalanya. Tapi uang bisa melupakan segalanya.
Uang yang di dapatkan dari hasil jual warisan tersebut sudah menjelma menjadi restoran mewah di berbagai kota.
Untuk mengenang masa sulitnya saat pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. Mery singgah sesaat di sebuah warteg tempatnya berjualan dahulu. Tempat ini sudah berubah drastis. Mery membuka warteg dalam keadaan yang memperihatinkan. Warung kecil dengan tonggak kayu dan atap seng yang bocor.
Mery berjualan dengan sabar sampai mendapatkan banyak langganan dan akhirnya join dengan salah satu restoran terkenal di kota ini menjadi chef. Setelah tahu seluk beluk kuliner, Mery membuka kafe kecil kecilan. Sampai ke puncak kesuksesannya saat ini menjadi pengusaha kuliner. Bahkan diundang di stasiun televisi untuk memberikan seminar dan kata semangat untuk kaum millennial.
Kehadirannya di warteg menjadi perhatian banyak pengunjung. Salah satunya adalah tetangga yang ada di desanya dan menghampiri Mery.
"Mery?" menunjuknya seakan tidak percaya dengan apa yang dilihat.
"Iya." Mery berpikir. Wajah yang ada dihadapnnya terasa tidak asing.
"Aku Panin." Anak pak Bejo.
"Oo Panin. Apa kabar?" kata Mery dengan ramah.
"Baik-baik. Kamu makin kinclong aja." kata Panin memujinya.
"Ah. Kamu bisa aja."
"Kenapa tidak kembali ke desa? Ayah kamu sakitnya semakin parah. Pulanglah. Kunjungi sebentar aja." serunya.
"Aku sibuk banget. Jadi nggak pernah sempat dan kadang malam udah capek. Nggak bisa hubungi orang tua." jelasnya keberatan dengan perkataan Panin
"Pulanglah. Lihat keadaan Ayah. Udah parah banget." kata Panin.
"Iya deh. Kalau sempat aku balik ke desa." jawab Mery.
Karena sudah satu jam berada di luar. Mery pamit kepada Panin dan kembali ke kantor. Perkataan Panin terus terngiang dipikirannya. Berniat untuk kembali ke desa selepas pulang kerja.
Malamnya Mery berangkat dengan bangga. Membawa banyak cendra mata dan mobil kebanggaannya.
Tidak sabar rasanya ingin bertemu orang tua setelah sepuluh tahun berpisah. Sampailah di depan rumah yang masih terlihat sama saat ditinggalkan. Banyak warga yang berkumpul dan bendera kuning telah berkibar serta tangisan yang terdengar jelas saat turun dari mobil
Mery berjalan tertatih. Terlihat sang Ayah telah terbaring dengan kain yang menutupi tubuhnya. Tidak guna lagi tangisan setelah kepergiannya. Mery sangat menyesal dan tidak bisa memaafkan dirinya. Bahkan Ibunya sendiri sudah terasa hambar atas kehadiran sang putri yang menjadi harapan keluarga.
gambar diambil dari : Petani Semesta-Kompasiana.com
Terima kasih sudah membaca dan jangan lupa beri vote dan tinggalkan komentar ya 😀😉
Semoga kalian suka dengan ceritanya 😁😎
Aku juga mau rekomendasikan cerita yang lainnya: Pernah Berakhir
: Teka Teki Sepatu
Kalian juga boleh follow akun sosmedku juga: Instagram dan Tiktok @Sucimutiara96
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
General FictionBerbagai kisah dan genre terdapat di cerpen ini. Disajikan secara menarik untuk menarik perhatian pembaca.