Chapter 30 - Hilang Kesadaran

3.7K 184 4
                                    

Pandangan Alena menggelap. Ia pun jatuh bersimpuh di atas lantai. Karena kedua kakinya tiba-tiba melemas. Alena panik seorang diri. Berkali-kali ia memejamkan mata agar penglihatannya bisa kembali normal namun rasa pening yang ikut menyerangnya membuat Alena hanya bisa menunduk pasrah. Menunggu kesadarannya yang berangsur-angsur semakin menghilang.

Disisa kesadarannya, Alena mendengar suara panik seseorang yang memanggil namanya berulang kali. Cengkraman tangan Alena di pinggiran sofa tak mampu lagi menopang tubuhnya yang kini mulai ambruk membentur lantai.

"Alena, bangunlah!"

"Apa ada seseorang di luar sana yang bisa menolongku?" teriak Merri kencang.

"Dasar bodoh. Sampai pita suaraku putus pun tidak akan ada yang bisa mendengar teriakkanku!" Lalu Merri berlari keluar membiarkan Alena tergeletak begitu saja dengan wajah yang sangat pucat.

Lima menit berlalu Merri baru kembali sambil berlari hingga napasnya terdengar tidak beraturan. Di belakangnya turut hadir Leo yang kebetulan datang untuk mengambil beberapa berkas di ruangan Sean.

Sebelumnya Merri sangat panik saat pintu lift tak kunjung terbuka. Tak ada seorangpun di lantai tersebut. Ia bingung ingin meminta bantuan kepada siapa. Tapi untung saja Leo segera muncul dari dalam lift sehingga mau tidak mau Merri harus meminta bantuan kepadanya. Meski menurutnya itu kurang sopan.

"Temanmu kenapa?" tanya Leo yang belum tau siapa yang gadis kebersihan itu maksud.

"Tolong segera bawa dia ke klinik. Saya tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Setelah saya datang dia sudah dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Dia pingsan dan pelipisnya berdarah!" Merri memberi penjelasan dengan suara bergetar.

Leo berdiri sambil mengerutkan kening. Ia belum melihat wajah perempuan yang terkapar di lantai itu. Merri yang berjongkok di samping Alena menghalangi pandangan Leo.

"Menyingkirlah agar saya bisa membawa temanmu ke klinik. Untuk mengetahui apa yang terjadi nanti saya akan minta pihak keamanan untuk mengecek rekaman CCTV ruangan ini."

Merri menoleh. Memberanikan diri untuk menatap wajah datar Leo. "Silakan." Merri segera berdiri memberi ruang untuk Leo mendekat.

Namun reaksi tak terduga dari Leo menimbulkan tanda tanya besar dalam benak Merri. Berubah sangat panik.

"Nona!" Leo berlutut di samping tubuh Alena yang tak sadarkan diri.

Leo yang sebelumnya bersikap tenang langsung berubah drastis. Raut wajah panik tercetak jelas saat tau siapa yang sedang dalam keadaan hampir sekarat. Wajah pucat Alena menarik Leo untuk segera membawanya ke klinik yang berada di lantai lima gedung tersebut.

"Kau sungguh tidak tau kenapa Nona bisa seperti ini?" Leo bertanya pada Merri yang tampak seperti orang bodoh.

"S-sungguh saya tidak tau apa-apa," jawab Merry bingung.

Tubuh Alena sudah dalam gendongan Leo. Leo berjalan tergesa. Tiba di depan pintu ia kembali menoleh ke belakang. Merri yang berjalan mengikuti ikut berhenti dengan kepala menunduk.

"Kau selesaikan saja pekerjaanmu. Biar saya yang mengurus gadis ini!" perintah Leo tegas. Kembali bersikap tenang.

"Baik."

"Tolong bukakan pintunya!" perintah Leo kemudian.

Dengan setengah berlari Merri menghampiri pintu. Pintu segera Merri buka setengahnya. Leo melenggang keluar tanpa sepatah katapun.

"Apa yang tidak aku ketahui? Kenapa orang nomor dua di perusahaan bisa sepeduli itu pada gadis kebersihan?" Pertanyaan yang Merri lontarkan masih berupa pertanyaan tanpa adanya jawaban.

***

"Hei! Kenapa melamun di sini?" seru Merri saat tau Alena berada di rooftop seorang diri.

Alena melepas cekalannya pada dinding pembatas yang memiliki tinggi sebatas dadanya. Ia berbalik sambil menyipitkan mata. Semilir angin yang berhembus membuat helaian rambut Alena berterbangan hingga ke depan wajah. Wajah muram yang tengah Alena sembunyikan tak sepenuhnya lenyap dari pandangan Merri yang terus mendekat.

"Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau sedang memperhitungkan sakit tidaknya kalau melompat dari atas gedung?" cetus Merri asal.

"Jangan asal bicara!" Alena menyunggingkan senyum tipis.

Mata Merri mengarah pada perban yang menempel di pelipis Alena.

"Syukurlah. Lagi pula kau tampak seperti orang frustasi. Kalau ada masalah kau bisa bercerita padaku. Aku akan sangat senang mendengarkannya." Merri berdiri di sebelah Alena. Alena kembali ke posisi semula. Keduanya melihat indahnya pemandangan kota dari atas ketinggian.

Mungkin Alena butuh teman untuk mencurahkan segala kegundahan hatinya, tapi ia tidak mampu menceritakan kisah cintanya yang tidak biasa pada orang lain. Alena malu. Itu bukan suatu yang bisa dibanggakan.

"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku baik-baik saja. Hanya mencari sedikit ketenangan." Alena mencoba berkilah.

"Baiklah. Seharusnya kau istirahat bukan malah menyendiri di tempat seperti ini. Anginnya cukup kencang sedangkan kondisimu masih sangat lemah. Ini tidak baik untukmu."

"Aku sehat. Hanya sedikit terluka saja."

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa keningmu bisa terluka dan apa hubunganmu dengan asisten bos?"

"Astaga pertanyaanmu banyak sekali! Mana yang harus aku jawab terlebih dahulu?" Alena menggeleng lemah sambil menatap Merri heran.

"Terserah. Yang pasti kau membuatku penasaran."

"Mungkin lain kali aku akan menjawab semua pertanyaanmu itu." Alena melempar senyum.

"Kau bisa menjawabnya sekarang, Alena?" Merri ingin protes.

Alena tertawa rendah. "Aku tidak punya waktu. Aku ingin pulang!"

"Kau ingin membuatku mati penasaran, ya?"

"Selamat berpenasaran. Aku mau turun, kau mau ikut tidak?" Alena berjalan lebih dulu.

Merri menghentakkan kakinya sambil menggerutu kesal. Alena seolah menghindari pertanyaannya.

Namun kedua wanita itu seketika berhenti melangkah. Sosok berkharisma yang baru saja keluar dari lift membuat yang melihatnya langsung tercengang.
Alena menarik napas dalam. Sedangkan Merri langsung berdiri kaku.

"Semua orang sibuk mencarimu dan kau malah di tempat ini! Cepat kembali ke ruang perawatan! Menyusahkan saja." Sean menatap tajam Alena dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

"Saya tidak sakit dan apa peduli Tuan?"

"Alena...," Sean mengetatkan rahangnya.

"Berhenti seolah Anda perduli pada saya. Saya terluka juga karena siapa? Menyingkirlah, saya mau pulang!" kicau Alena yang emosi.

"Biar sopir yang mengantarmu pulang!"

"Saya bisa sendiri." Alena melewati Sean begitu saja.

"Jangan keras kepala! Ini demi kebaikkanmu juga."

Alena memejamkan mata setelah rasa pusing kembali menyerangnya. Ia berdiri tegak di depan lift membelakangi Sean. Ia berusaha bersikap baik-baik saja. "Bilang pada sopir Anda untuk menunggu saya di lobi belakang!"

Sean memijat pelipisnya sambil menghela napas lemah. Tak sengaja mata Sean melirik sinis ke arah Merri yang masih bertahan di tempatnya. Wanita itu berdiri seperti patung. Tubuhnya gemetar.

Segera Sean menghampiri lift dan menekan tombol turun. Sean mengerakkan lehernya yang terasa kaku sambil menunggu lift yang tak kunjung terbuka setelah terlebih dahulu membawa wanita keras kepala itu turun.

Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, tapi aku hanya berhenti menunjukkannya padamu. Berkali-kali Sean memejamkan mata. Kepalanya sedikit pusing karena kurang tidur.

*****

 Kekasih Simpanan UncleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang