Bagian 27 - Selesai

3.6K 167 2
                                    

Cuaca mendung. Hujan yang turun tidak terlalu deras tak kunjung berhenti sejak pagi. Alena yang sudah selesai bekerja masih berada di ruangan Sean, menunggu dengan bosan pria yang sedang melakukan meeting online.

Berkali-kali Alena menggeliatkan tubuhnya sambil menghela napas kasar. Ia lelah karena seharian bekerja namun dengan seenaknya Sean menahannya untuk tetap berada di sana.

"Jam berapa ini? Ayolah kita pulang!" Alena memfokuskan pandangannya pada jam yang menempel di dinding.

"Kalau tidak biarkan aku pulang duluan. Toh di sini aku tidak mempunyai kepentingan apapun."

Sean mengalihkan tatapannya dari layar laptop sambil menaruh jari telunjuknya ke depan bibir.

"Benar-benar tidak punya perasaan!" Alena mengerucutkan bibirnya.

Merasakan getaran yang berasal dari ponselnya membuat Alena segera memasukkan tangannya ke dalam tas. "Ya, halo...," sapa Alena malas pada penelpon dengan nomor tidak dikenal.

"Bisakah kita bertemu?" ucap seseorang di seberang telepon.

Alena menegang. Sekilas ia melirik ke arah Sean yang tidak memperhatikannya. "Ada perlu apa? Tapi sepertinya tidak bisa," Alena memelankan suaranya agar tidak terdengar oleh Sean.

"Temui aku di lobby depan tempatmu bekerja. Aku akan menunggu di sini hingga kau datang." Nada suaranya terdengar memaksa.

Panggilan pun terputus secara sepihak. Alena mengusap wajahnya gusar lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

"Sean, apa meetingmu masih lama?" tanya Alena setelah cukup lama berpikir.

"Hmm," Sean menjawab.

"Aku tunggu di luar ya, bosan kalau terus di sini."

"Tidak boleh! Kembali duduk!"

Alena yang sudah berdiri memejamkan mata sambil menghembuskan napas pelan. "Aku tidak akan pergi ke mana-mana."

Sean menatap Alena dengan mata elangnya. Bibir Sean menipis karena Alena tidak mau mendengar perkataannya. Sesegera mungkin Sean menutup laptop yang berada didepannya lalu ikut berdiri, melangkahkan kakinya menghampiri Alena.

"Perasaanku mulai tidak enak," batin Alena sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Kau terus memaksa ingin keluar. Apa ada sesuatu yang tidak ku ketahui?"

"Maksudmu?" Alena berusaha menutupi rasa cemasnya.

Kedua tangan Sean menyentuh sudut bahu Alena. Manik keduanya saling beradu. "Kau pikir aku tidak tau kalau baru saja ada seseorang yang menelponmu. Siapa?"

Bibir Alena tak mampu untuk berkata-kata. Sean meremas bahu Alena saat melihat ekspresi yang gadis tersebut tunjukkan. Sean berpikir ada yang salah.

"Ayo jawab!"

"Bukan orang penting. Hanya teman lamaku." Bibir Alena sedikit gemetar saat mengatakan itu.

"Bisa aku melihatnya?"

Wajah Alena terangkat. "Sial, kenapa aku jadi sebodoh ini? Seharusnya aku tidak menerima telepon dari laki-laki itu." sesal Alena pada diri sendiri.

"Kau tidak mempercayaiku?!" Alena merasakan jantungnya seperti akan melompat keluar. Ia berusaha mengatur napasnya agar bisa tetap tenang.

Tangan Sean terulur ke depan. Dengan ragu Alena kembali mengambil smartphonenya dari dalam tas dan menyerahkannya kepada Sean. Setelah ponsel tersebut beralih ke tangan Sean terdengar nada notifikasi pesan masuk.

"Oh God!" Alena menelan ludahnya kasar. Pandangan Alena jatuh pada genggaman erat tangan Sean di ponselnya. Kaki Alena melemas saat tau ada perubahan mimik dari wajah Sean. Ia mendudukkan diri ke atas sofa sebelum terjatuh ke lantai.

"Diam-diam kau berhubungan lagi dengan pemuda itu?"

Sepontan Alena menggeleng. Alena merasa takut dengan ekspresi yang Sean tunjukkan. Pria tersebut tampak murka. Rahangnya sudah mengeras dan otot di lehernya sudah mulai tampak.

Sean menatap lekat Alena sambil berusaha melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Ruangan yang sebelumnya dingin berubah panas hingga bisa membakar tubuhnya.

"Tenanglah, ini bisa kujelaskan!" Sebenarnya Alena bingung ingin memberi penjelasan seperti apa.

"Coba kau jelaskan!" ucap Sean dingin.

"Em... Itu...," Alena merasa sulit berbicara. Kedua tangannya yang saling bertautan sudah sangat basah oleh keringat.

"Bahkan dirimu sudah tidak mampu untuk beralasan." Sean memunggungi Alena. Kelima jarinya digunakan untuk menyisir rambutnya ke belakang. Amarah yang ingin mendominasinya segera Sean redam agar tidak menguasainya.

"Pergilah! Lakukan apa yang kau mau."

"Tapi---,"

"KELUAR!"

"Aku muak dengan sikapmu!" Sean berkata lagi pelan namun penuh ketegasan.

Aliran darah di tubuh Alena seketika terhenti setelah mendapat bentakan menyakitkan dari Sean. Alena tidak menyangka Sean akan semarah itu kepadanya.

"Demi Tuhan kau salah paham." Alena ingin membuat Sean menghilangkan pikiran buruknya. Alena ingin Sean percaya kepadanya.

"Aku tidak butuh pembelaanmu. Enyahlah dari hadapanku!"

"Sean kau sungguh berkata seperti itu kepadaku?" Air mata yang sejak tadi Alena tahan akhirnya meleleh.

Sean pun enggan berbalik untuk melihat wajah terluka sang kekasih.

"Aku tidak ingin memperjuangkan seseorang yang tidak ada niatan untuk berada di sisiku. Kalau bahagiamu bukan denganku aku bisa apa. Mulai saat ini aku melepasmu!" kata Sean sambil tersenyum getir.

"Kau bebas. Sudah tidak ada ikatan tak kasat mata di antara kita." Itu menjadi kata terakhir yang Sean ucapkan.

Alena diam. Alena sendiri masih bingung dengan perasaannya, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa ia menyimpan cinta kepada pria yang mungkin saat ini berubah membencinya.

"Maafkan aku."

Sean tidak menghiraukan permintaan maaf Alena. Sean membawa langkahnya kembali ke meja kerjanya. Ponsel milik Alena masih Sean genggam.

"Astaga, kenapa jadi seperti ini? Apa isi pesan yang Arsen kirimkan hingga membuat Sean marah besar?" Alena bertanya-tanya tanpa tau jawabannya.

Beberapa menit kemudian masih belum ada reapons apa pun dari Sean. Alena memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut. Memberi waktu Sean untuk sendiri. Untuk sekarang akan terasa percuma jika Alena terus membujuk Sean untuk memaafkannya.

"Aku pulang!" Alena pamit pada Sean yang bersikap tak acuh.

Sepeninggalan Alena terdengar suara benda jatuh silih berganti. Sean membanting semua benda di dekatnya terutama ponsel milik Alena yang kini sudah berakhir di lantai.

"Brengsek! Baj**gan itu seharusnya sudah ku singkirkan sejak dulu!" Sean berdiri sambil menumpukan kedua tangannya di atas meja. Mata Sean memerah. Rambut rapinya kini berubah acak-acakan.

"Bodoh sekali. Aku kembali dipermainkan oleh gadis sialan itu." Sean tertawa lebih tepatnya menertawai dirinya sendiri.

*****

 Kekasih Simpanan UncleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang