Angin malam yang menusuk kulit tak mampu lagi Alena hindari. Langkah gontainya tidak tau arah. Alena bingung akan bermalam di mana. Ia tidak punya cukup uang untuk menyewa penginapan. Harta satu-satunya yang ia punya hanya sebuah ponsel murah yang tidak mungkin ia jual.
Frustasi. Alena berhenti di halte bus seorang diri. Alena duduk untuk melemaskan otot kakinya yang kaku akibat berjalan cukup jauh. Rasa ngilu di betisnya memaksa Alena untuk memijat-mijatnya sejenak.
"Harapanku saat ini hanya kepada Merri. Semoga dia mau memberiku tumpangan meski hanya semalam saja." Alena tersenyum samar menguatkan dirinya.
Tangan Alena merogoh ke dalam tas lalu mengeluarkan ponselnya dengan penuh harapan. Jempolnya terus bergerak lincah diatas layar ponsel kemudian ponsel tersebut ditempelkan ke telinganya.
Alena menggigit kuku tangannya saat panggilannya tak kunjung mendapat jawaban. "Ayolah, segera angkat telponku, Mer!" gumam Alena cemas.
Panggilanpun terputus karena tak kunjung mendapat respon. "Astaga. Haruskah aku bermalam di pinggir jalan!" Alena putus asa.
Terpaksa Alena menyimpan kembali smartphonenya ke dalam tas. Punggung yang terlihat rapuh itu disandarkan ke kaca pembatas yang ada di belakangnya.
Mata yang terasa panas Alena pejamkan. Sepertinya demam yang Alena alami belum juga mereda. Alena memaksakan diri untuk kuat meski lama kelamaan tubuhnya menolak keinginan kerasnya tersebut.
"Aku yakin akan baik-baik saja meski saat ini diriku sudah menjadi gelandangan. Tidak akan ada orang lain yang mempedulikanku. Karena memang aku ditakdirkan untuk sendirian."
Malam makin larut Alena masih betah duduk di dalam halte enggan untuk beranjak. Alena setengah membungkuk. Matanya fokus pada kedua kakinya yang ia goyang-goyangkan. "Aku harus bagaimana?" Alena mulai meratapi nasibnya.
Kristal bening yang coba Alena tahan akhirnya meleleh keluar. Alena menangis dalam diam. Marah. Kesal. Semua bercampur menjadi satu. Kedua telapak tangan Alena digunakan untuk menutupi wajah sembabnya. Ia tidak ingin ada orang lain yang melihat tingkah konyolnya. Menangis di pinggir jalan, terlihat menyedihkan sekali.
"Cengeng. Bukankah kau sendiri yang memilih berjalan jauh dibanding pergi menemuiku!"
Refleks Alena mengangkat wajahnya.
"Mau apa kau?"
"Ayo pulang!" Sean mengulurkan tangannya.
"Ke mana aku harus pulang? Aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi." Alena menatap Sean sedih.
"Ke padaku." Tangan Sean segera menggenggam tangan Alena yang berada di atas pangkuan.
Tubuh Alena sengaja dikakukan. Ia menolak keinginan Sean yang ingin menariknya. "Aku tidak bisa ikut bersamamu, Sean. Jangan membuatku bingung dengan sikapmu yang tidak menentu. Kita bukan lagi saudara ataupun pasangan kekasih. Aku hanya orang lain untukmu."
"Tapi tidak untukku!"
"Maksudmu?" Alena menatap Sean penasaran.
Sean menarik tangan Alena hingga berdiri. Keduanya saling berhadapan. Alena mencoba menjauh dari Sean namun Sean menahannya dengan meraih pinggang Alena lalu menariknya hingga saling menempel.
Keduanya saling berpelukan. Alena menangis sesenggukan di depan dada Sean. Telapak tangan Sean mengusap-usap punggung Alena agar gadis tersebut merasa tenang.
"A-ku bingung, Sean." kata Alena terbata-bata.
"Kalau kau sudah tidak menginginkanku lagi tidak seharusnya kau berada disini. Jangan pedulikan diriku lagi! Kau hanya memberiku sebuah harapan semu yang akan menghempasku hingga kembali terluka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Simpanan Uncle
Romansa(PROSES REVISI) 21+ Karena suatu hal yang tidak Alena ketahui, ia terpaksa menjadi kekasih gelap pamannya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu benih cinta mulai tumbuh di hati Alena tanpa bisa dicegah. Hingga suatu ketika Alena menerima kenyata...