Tak terasa hari berganti begitu cepat hingga bulan berlalu tanpa disadari. Masa-masa sulit Sean sebentar lagi akan segera berakhir. Kini kandungan Alena sudah mengijak usia delapan bulan. Waktu persalinan kian dekat.
Di gazebo di sisi kiri taman tengah duduk wanita dengan perut membesar. Ditangannya memegang tangkai bunga dan sebuah gunting. Pelayan wanita yang berdiri di sana mengamati sang Nona dengan senyum merekah. Kebahagiaan sang nona memberi aura positif untuk semua penghuni mansion.
"Tolong bawakan satu vas bunga lagi kemari!" pinta Alena.
"Maaf Nona, ini sudah terlalu banyak rangkaian bunganya. Mari saya antar Nona kembali ke kamar. Sudah terlalu lama Nona di luar."
"Aku belum puas dengan bunga-bunga ini. Sean sudah memberiku izin. Kau tidak perlu takut, Sean tidak akan memarahimu." Alena memasukkan satu tangkai mawar putih kedalam vas yang terbuat dari porselen.
"Sekarang sudah waktunya tuan kembali. Apakah Nona tidak ingin menyambutnya?"
"Sudah tiga hari ini Sean sering pulang terlambat. Mungkin kali ini dia akan terlambat lagi." kata Alena dengan santainya.
"Kau terlalu percaya diri." Suara bariton itu sontak mengalihkan fokus Alena dari bunga-bunga cantik di hadapannya.
Masih mengenakan setelan kerjanya Sean langsung mencari keberadaan Alena yang tidak ia temukan di kamar utama. Sean mulai tidak bisa fokus saat beraktivitas di luar rumah mengingat kondisi Alena yang tengah hamil tua.
Meski trimester pertama telah usai namun acara ngidamnya hingga kini masih saja berlanjut. Sean sempat berpikir bahwa istrinya itu sengaja mengerjainya.
"Kau mengejutkanku."
"Maaf, kelihatannya kau sedang sibuk sekali hingga tidak menyadari kedatanganku."
"Coba kau lihat, bukankah bunga-bunga ini sangat cantik? Aku sendiri yang sudah merangkainya."
"Kali ini apakah tanganmu terluka lagi?" tanya Sean sambil meneliti kedua telapak tangan istrinya. Ia lega tidak menemukan luka lecet atau sekedar kulit memerah.
"Kali ini aman."
Senyum cerah Alena membuat Sean gemas.
"Apa kau bahagia?" Sean memposisikan dirinya dengan berjongkok di bawah Alena. Matanya menatap perut bulat Alena yang menonjol.
"Tentu saja. Apalagi saat melihatmu, aku sangat bahagia. Tak disangka aku punya suami yang begitu tampan."
Bola mata Sean menatap Alena jengah. Ia paham kalau Alena sudah mulai memuji dirinya saat itu pula permintaan konyol akan segera terjadi. Pernah beberapa waktu lalu saat Alena memuji kalau tubuh Sean sangat indah, tapi pada akhirnya ia meminta Sean untuk bertelanjang dada sepanjang hari hingga semua pelayan yang berpapasan dengannya senyum-senyum malu. Sungguh menggelikan.
"Lupakan pujianmu itu. Aku sedang tidak punya waktu meladeni kekonyolanmu." Jemari Sean meraba perut Alena. Merasakan gerakan dari bayi dalam perut gadis itu.
"Dia selalu merespon setiap kali ku sentuh," ucap Sean lagi.
"Mungkin dia merindukan ayahnya."
"Bagaimana kalau aku mengunjunginya?" kata Sean semangat.
Mulai lagi deh.
Pelayan yang masih berdiri di sana hanya mampu memalingkan wajah dan berusaha menulikan pendengarannya. Ia tidak berani beranjak sebelum mendapat perintah. Ia hanya perlu membiasakan diri untuk mendengar dan melihat tingkah absurd majikannya.
"Tidak."
"Sayang sekali, padahal akan terasa menyenangkan kalau kau mengizinkannya." Sean terkekeh.
Aku heran kenapa setiap kali melakukan pemahasan dengan Sean ujung-unjugnya tidak jauh dari selangkangan!
***
Sean sudah pergi ke kantor satu jam yang lalu. Tidak ada yang Alena lakukan. Ia hanya duduk di ruang keluarga sambil mengganti channel televisi untuk mengusir rasa bosannya.
Alena beralih menatap seorang pelayan setengah baya terpongoh-pongoh menghampirinya.
Wanita tua itu sedikit membungkuk sebelum berucap.
"Ada apa?"
"Di luar ada yang mencari Nona."
"Siapa?"
"Kalau tidak salah mantan istri Tuan."
"Aunty..." batin Alena. Ia cukup terkejut mendengar kedatangan Amber.
"Aku akan menemuinya."
Kemudian Alena bergegas ke pintu utama dengan jantung berdegub kencang. Pintu terbuka. Alena mematung, sedangkan tamu yang tengah menunggu itupun mengembangkan senyumnya.
"Apa kabar?" Sapanya.
"A-aunty, ada apa?" Alena bingung harus mengatakan apa.
"Aku datang hanya ingin melihatmu. Aku sangat bersyukur saat melihat bahwa kau baik-baik saja. Tampaknya sekarang kau hidup dengan sangat baik." Amber mengusap sudut bahu Alena dengan tatapan tulus.
"Aunty tenang saja, Sean memperlakukanku dengan sangat baik." Ada perasaan canggung saat mengatakan itu.
"Syukurlah... Apa kau tidak ingin mempersilahkan Aunty masuk?" kata Amber sambil terkekeh.
Seperti baru tersadar Alena menggeser tubuhnya ke samping. Mempersiakan Amber masuk. Cukup lama tidak saling bertemu Alena merasa asing.
"Ah maaf, silakan masuk, Aunty!"
Alena mengikuti Amber yang berjalan pelan dengan pandangan memutari area ruang utama.
Dulu Aunty nyonya di mansion ini, tapi karena diriku dia kehilangan posisinya.
"Semua masih terlihat sama seperti terakhir kali."
"Iya. Lagi pula tidak ada yang perlu diubah. Semuanya sudah terlihat bagus," balas Alena yang ikut meneliti interior ruang utama.
Keduanya duduk di sofa saling berhadapan. Tidak ada yang ingin Alena tanyakan, namun akan terlihat tidak sopan kalau ia hanya diam saja.
"Bagaimana kabar Aunty?"
"Seperti yang kau lihat aku baik-baik saja. Meski sempat terpuruk tapi itu semua sudah berlalu."
"Berapa usia kandunganmu sekarang?" Lanjut Amber.
"Delapan bulan lebih." Tangan Alena refleks mengusap perutnya. Dengan begitu perasaannya berubah menghangat.
"Wah sebentar lagi baby nya akan segera lahir. Sean pasti senang. Kau beruntung bisa melahirkan penerus Wijaya Group." Tercetak raut sedih di wajah wanita yang dulu sempat menjadi istri pria pemilik mansion tersebut.
Deg! Mulut Alena terkatup rapat. Alena tidak tau apa tujuan Amber datang ke mansion dan berbicara seperti itu. Menyindir dirinya kah?
"Dulu aku yang salah. Aku yang terlalu bodoh." Amber bergumam.
"Sebenarnya aku belum berencana memiliki anak, tapi semua sudah terjadi. Kalau memang dengan ini bisa membuat suamiku bahagia aku tidak akan menyesalinya." Alena sangat bangga bisa mengatakan itu.
"Mugkin dengan anak ini satu-satunya cara agar aku selalu terikat dengan Sean." Alena semakin gencar memprovokasi perasaan Amber.
"Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk hubungan kalian. Semoga kau selalu bahagia. Dan aku harap kau bisa melupakan masalah yang dulu agar kita bisa menjalin kembali hubungan keluarga yang sempat terputus."
Melihat mata Amber yang berembun Alena merasa tidak ada kebohongan di setiap kata yang Amber ucapkan. Ia akan menghormati niat tulus Aunty nya untuk kembali berhubungan baik.
"Aku tidak pernah membenci Aunty dan selamanya kita tetap keluarga. Meski kita menolaknya sekalipun takdir kita memang seperti itu."
Amber mengusap sudut matanya yang berair lalu pindah duduk di samping Alena. "Terima kasih."
Merekapun saling berpelukan dengan haru.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Simpanan Uncle
Romansa(PROSES REVISI) 21+ Karena suatu hal yang tidak Alena ketahui, ia terpaksa menjadi kekasih gelap pamannya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu benih cinta mulai tumbuh di hati Alena tanpa bisa dicegah. Hingga suatu ketika Alena menerima kenyata...