"Masuk aja Maya!" perintahku saat mendengar ketukkan dari pintu ruang kantorku.Dahiku berkerut saat melihat ternyata bukan Maya yang memasuki ruangan melainkan Kak Sapta. Aneh sekali, tidak biasanya dia naik ke lantai dua. Selama ini dia hanya akan menungguku di dalam mobilnya. Apalagi ini masih sore, sinar matahari bahkan masih bisa aku rasakan menembus kaca jendela kantorku.
Dia menyentil dahiku "Malah ngelamun lagi!"
"Aduh, sakit Kak" ucapku sambil mengusap dahiku yang disentilnya. Sebaliknya dia dengan santai malah duduk di sofa tepat berdampingan denganku.
Memang aku tidak sedang duduk di kursi yang ada di meja kerjaku melainkan di sofa yang disediakan jika ada banyak tamu datang. Sebenarnya aku memang tidak menyukai duduk di kursi sempit. Lagipula perkerjaanku tidak formal jadi santai saja selama semua aman terkendali.
Duduk menyerong menghadapnya dengan mata menyipit tajam dan tetap menggelus dahiku pelan karena terasa snat-snut akibat ulah jahilnya tadi "Kenapa sih dari dulu, hobby banget menganiaya Vani. Kakak itu ket____ "
CUP
Ucapku terhenti saat dia tiba-tiba mengecup tanganku yang sedang mengusap dahiku. Gerakanku otomatis terhenti sejenak bahkan kurasakan mulutku sempat menganga.
Dia tersenyum lalu bertanya, "Udah enggak sakit lagi kan, Lala? Aku obatain tuh! Aku jamin manjur!"
"KAK SAPTA IIIH, UDAH DIBILANGIN JANGAN CIUM-CIUM VANI SEMBARANGAN!" teriakku sambil menghujani dia dengan cubitan bertubi-tubi.
"Ampun... ampun La, tadi juga enggak kena karena kan ketutupan sama tangan kamu." Tangan Kak Sapta menepis tanganku "Lala berhenti, jangan suka pancing-pancing aku atau kejadian di apartemen kejadian lagi di sini!" ancamnya yang otomatis menghentikan gerakanku untuk membalas dendam padanya.
Oke, aku harus mengalah apalagi posisi kami sudah agak rawan. Kak Sapta setengah badannya hampir terbaring di sofa sedangkan badanku juga condong hampir 30° ke arahnya. Kadang secara tidak sadar kita sendiri yang memancing datangnya kejadian yang tidak-tidak. Ingat bahwa kejahatan itu tidak hanya muncul hanya karena ada niat tetapi juga adanya kesempatan.
Aku buru-buru bangkit berdiri lalu berpindah duduk di kursi belakang meja kerjaku. Ngeri juga kalau kejadian itu terulang lagi, apalagi aku kenal Kak Sapta. Dia tidak pernah main-main dengan ancamanya. Bahaya kalau terciduk oleh karyawan, mau ditaruh di mana mukaku? Memikirkannya saja sudah membuat badanku merinding.
"Perasaan, belakangan ini Kakak makin aneh aja. Mending kita cepat-cepat pergi ke Ustad. Kalau perlu sekarang juga!" ucapku sambil memincingkan mata padanya.
"Kamu mau cepat-cepat dengar aku ngucap ijab kobul gitu? Iya udah, ayo berangkat sekarang!"
"Iiisshhh... bukan itu, lagian ngucapin ijab kobul itu di depan Penghulu bukan di depan Ustad. Vani mau bawa kakak ke Ustad buat dirukiyah, biar setan mesum di kepala kakak hilang!"
Dia malah tertawa terbahak-bahak, dasar orang aneh. Meredakan tawanya lalu dia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan malah mulai sibuk dengan benda itu. Aku masih memandangnya heran namun tak ada reaksi apapun darinya.
"Kakak enggak ada kerjaan di Resto? Sebenarnya mau apa ke sini?" tanyaku penasaran karena kami tidak punya janji bertemu hari ini.
"Kerjaan ada tapi enggak penting-penting amat jadi Bayu bisa handle. Ayah kamu minta aku makan malam di rumah hari ini, makanya aku nunggu kamu terus kita pulang bareng," ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
Mataku membulat "Kira-kira ada apa ya Kak? Vani jadi takut!"
"Mana aku tahu Lala. Aku ini pengusaha resto bukan cenayang. Ya, walau bisalah sayangin kamu." jawabnya tak nyambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGET ME NOT (COMPLETED)
General FictionJika hati bisa diajak berlogika maka hidup tidak mungkin serumit ini! Kisah Vanilla yang berusaha move on, namun bagaimana bila benang-benang masa lalu ternyata sudah terangkai menjadi simpul mati dan akan tetap ikut terajut membentuk masa depan yan...