Aku duduk bersandar di kepala ranjang sambil mencoba bermain games di ponselku dengan hasil berkali-kali kalah. Sumpah, konsentrasiku buyar. Aku bahkan tidak menghiraukan rambutku yang belum kering sempurna karena tidak mengunakan hair dryer dengan benar. Alasannya hanya satu yaitu pikiranku sedang kacau.
Aku menarik napas lalu menghembuskannya berkali-kali untuk menenangkan pikiran dan juga jantungku ini. Mataku memandang sekeliling kamar resort yang disewa Kak Sapta selama kami di Bali. Napasku tercekat saat pintu kamar mandi terbuka. Kami memang mengambil penerbangan malam karena Kak Sapta mesti menyelesaikan masalah administrasi Resto dulu.
Kak Sapta keluar dengan piama tidur dan handuk kecil melingkar di lehernya. Kulihat rambutnya masih sedikit basah. Semenjak menikah untungnya dia tidak pernah shirtless di depanku. Justru aku melihatnya shirtless dan hanya memakai handuk sebatas pinggang itu sebelum kami menikah. Iya, saat aku diundang makan malam di rumahnya dulu.
"Kalau ngantuk tidur duluan aja enggak perlu tunggu aku. Kamu pasti capek dan ini sudah hampir tengah malam, La," ucap Kak Sapta sambil berjalan ke arah nakas lalu menuang segelas air untuk diminumnya.
Aku menutup mataku perlahan merapal doa, menaruh ponselku lalu berjalan mendekatinya. Dia terkesiap saat aku memeluknya dari belakang "Jangan berbalik!" perintahku saat merasa dia akan menggerakkan tubuhnya.
Dia menaruh gelas berisi air yang sempat diminumnya sebelum aku memeluknya tadi ke atas nakas beserta handuk kecil begitu saja. Menghembuskan napas perlahan, dia lalu meletakkan tangannya di atas tanganku "Ada apa? Kamu ada masalah, hm?"
"Maafin Vani karena belum bisa jadi istri yang sempurna buat Kakak, padahal kita sudah menikah dua bulan."
"Astaghfirullah, dengar Sayang, kita baru bisa sama-sama setelah lebih dari 9 tahun loh. Apalah artinya cuma dua bulan? Buat aku, bisa hidup sama kamu saja sudah anugerah. Bahkan, aku kira mimpi bisa ketemu kamu lagi," Mengambil jeda sesaat sebelum melanjutkan "Aku memang laki-laki normal tapi enggak berarti mesum terus pikirannya. Aku udah bilangkan kalau bakalan tunggu sampai kamu siap. Bisa tidur sambil meluk kamu tiap hari udah lebih dari cukup. Jangan bikin diri kamu tertekan, ngerti?"
"Vani takut Kakak tinggalin Vani. Setiap orang punya batas, Kak. Apalagi sekarang pelakor itu cantik-cantik!" cicitku pelan.
Dia berbalik cepat lalu menatapku tajam, "Pelakor cantik-cantik??? Bisa jelasin maksudnya?"
"Itu... itu..."
"Apapun yang kamu dengar tentang aku, tolong jangan lansung percaya sebelum konfirmasi dulu, Oke!" Mengenggam kedua tanganku "Dengar, aku memang udah jadi suami kamu tapi sifat burukku tidak berubah banyak. Harap kamu tahu bahwa aku bukan laki-laki yang peka. Entah dulu atau sekarang sama aja, enggak bisa berubah. Aku juga enggak terbiasa menjelaskan sesuatu yang menurutku bukan masalah penting. Itu kelemahanku, jadi tolong, kalau ada hal yang mengganggu pikiranmu tanya langsung aja. Aku enggak mau kita berdua salah paham kayak dulu lagi. Aku memang pemarah La tapi aku bukan pembohong."
Menunduk sambil memandang kakiku lalu memberanikan diri berkata, "Hmm... Chef baru di resto katanya Tari seksi. Lagian Vani sampai sekarang belum bisa disebut ist____"
Memotong perkataanku, "Tari lagi... Tari lagi..."
"Eh, bukan gitu... Maksud Vani itu___"
Memotong perkataanku sekali lagi, "Namanya Teh Kinan, dia itu teman Teh Puspa dan masuk ke Resto juga lewat Papa bukan aku." Tersenyum sesaat lalu melanjutkan, "Tahu enggak? Aku belajar dari kamu bahwa perempuan yang cantik dan seksi itu enggak berarti murahan. You can see but you can't touch. Bukan salah perempuan itu kalau terlahir cantik, iya kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGET ME NOT (COMPLETED)
Ficción GeneralJika hati bisa diajak berlogika maka hidup tidak mungkin serumit ini! Kisah Vanilla yang berusaha move on, namun bagaimana bila benang-benang masa lalu ternyata sudah terangkai menjadi simpul mati dan akan tetap ikut terajut membentuk masa depan yan...