Hari ini suasana rumah mendadak ramai. Persiapan untuk acara tujuh bulanan Teh Amel bahkan sudah dimulai dari dua hari yang lalu. Acara tujuh bulanan akan di adakan dalam adat Sunda. Mengikuti tradisi asal Ibuku.
Sebenarnya bisa juga mengunakan adat jawa berhubung Ayah adalah berasal dari Jawa. Tapi entahlah, aku juga kurang paham. Walau tidak diharuskan dalam aturan agama tapi tidak ada salahnya mempertahankan tradisi bukan? Anggap saja sebagai acara berbagi kebahagiaan.
Upacara tujuh bulanan dalam adat sunda disebut nujuh bulanan atau tradisi tingkeban. Kalau tidak salah berawal dari cerita sejarah di masa pemerintahan Prabu Jayabaya, yaitu kisah mengenai wanita bernama Niken Satingkeb.
Dalam kisahnya, Niken telah melahirkan sebanyak sembilan kali. Akan dari kesembilan anak itu tidak ada satu pun yang mampu bertahan hidup. Niken Satingkeb kemudian mengunjungi Raja, untuk meminta solusi agar jabang bayi yang sedang dikandungnya tidak mengalami kejadian serupa dengan bayi-bayi terdahulunya.
Kemudian oleh sang raja, Niken Satingkeb beserta suaminya diperintahkan untuk menjalani beberapa ritual. Dengan ritual itu bisa menyelamatkan bayi yang sedang dikandung Niken Satingkeb. Di generasi selanjutnya masyarakat kemudian menamai ritual ini sebagai tradisi tingkeban.
Teh Amel nampak tidak henti-hentinya tersenyum. Entah karena antusias mengikuti proses acaranya atau karena suaminya sudah datang dan selalu setia menemaninya. Acara juga berlangsung sejak dari pagi.
Dibuka dengan acara Pengajian, ayat yang di baca Surat Yusuf, Surat Lukman dan Surat Maryam. Dilanjutkan dengan calon Ibu ganti baju siraman (kain batik yang diganti setiap siraman, total ada tujuh siraman) dan berjalan menuju gubuk siraman didampingi suami, didahului oleh orang tua.
Lalu acara adat suami memasukkan ke-2 buah kelapa gading ke dalam gentong. Setelah itu disiram oleh orang tua dan 7 keluarga dekat. Acara adat dilaksakan dengan penuh khidmat.
Mengganti kain yang dipakainya sambil bertanya kepada penonton, cocok atau tidak kain yang dikenakan? Pergantian kain ini dilakukan sampai pada kain ke-7. Setelah itu pakai kain putih (disarungkan) lalu suami meloloskan telor ke dalam sarung kain putih itu, serta meloloskan belut ke dalam kain sebanyak 7 kali.
Acara terakhir di gubuk siraman, suami mengaduk gentong isi kelapa sambil menghadap ke penonton. Setelah itu mengambil satu buah kelapa, jika yang di ambil bergambar Shinta maka kelak anaknya perempuan dan kalau bergambar Rama maka kelak anaknya laki-laki. Setelah itu kelapanya di belah, ini melambangkan susah atau gampangnya proses persalinan nanti, dan air kelapanya boleh diminum.
Dilanjutkan Istri mengganti baju kebaya dan mulai berisap-siap berjualan rujak. Menurut kepercayaan dari rasa rujak ini orang-orang bisa meramalkan jenis kelamin si jabang bayi nanti. Jika rujaknya sepat-pedas berarti anaknya memiliki jenis kelamin laki-laki, jika rasanya segar-manis berarti jenis kelaminnya perempuan.
Ketika Istri berjualan rujak, sang suami membereskan semua peralatan siraman yang telah digunakan, seperti membuang air bilasan, belut, bunga, dan sebagainya. Semuanya harus dibuang di perempatan atau pertigaan jalan. Itu semua hanya simbol yang akan dibersihkan kembali.
Uang hasil penjualan rujak dikumpulkan di mangkuk atau kendi tanah liat tapi isinya dicampur uang recehan yang asli. Nanti mangkuk atau kendinya itu dibanting oleh suami dan uangnya recehnya di perebutkan oleh para tamu. Ini merupakan salah satu proses saweran dalam tradisi tingkeban.
Melihat betapa panjang ritualnya sudah membuat badanku bergidik. Menyenangkan sebenarnya, tapi kalau disuruh melaksanakan semuanya pasti melelahkan. Apalagi mesti melibatkan belut yang bagiku termasuk deretan hewan yang menjijikan dan perlu diajuhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGET ME NOT (COMPLETED)
Fiksi UmumJika hati bisa diajak berlogika maka hidup tidak mungkin serumit ini! Kisah Vanilla yang berusaha move on, namun bagaimana bila benang-benang masa lalu ternyata sudah terangkai menjadi simpul mati dan akan tetap ikut terajut membentuk masa depan yan...