Pulang... entah kenapa membuat hatiku malah terasa tak tenang, harusnya aku bahagia karena bisa kembali berkumpul dengan keluargaku bukan??? Oh, kalau kalian kira kisahku bagai Cinderella yang ditindas keluarga sehingga takut pulang, berarti kalian salah besar.
Aku Vanilla Kalinda Utomo diminta pulang kembali ke kota kelahiranku, kalian tahu kenapa??? Karena rencana perjodohan konyol yang dirancang ayahku tersayang. Memang apa salahnya kalau wanita diumur 25 tahun sepertiku masih lebih memilih mengejar karier daripada mengejar jodoh. Kalian tahu apa jawaban ayahku, "Salahnya karena umur ayah sudah tidak muda lagi, jantung ayah sudah nggak bisa diajak kompromi," katanya lewat sambungan telepon.
Maka disinilah aku, duduk memandangi deretan persawahan hingga sungai di sela perbukitan dari balik kaca jendela kereta yang aku tumpangi dari Yogyakarta menuju Bandung. Hatiku yang gundah gulana ini seolah didukung alam semesta. Hujan turun tiada henti membasahi jendela kereta api sejak semalam.
Sebenarnya bukan perjodohan yang aku takutkan, karena menurutku hidup harus realistis. Cinta itu bukan satu-satunya alasan untuk menikah apalagi mempertahankan pernikahan. Semakin dewasa seseorang maka semakin berubah pula cara berpikir dan menyikapi permasalah hidup. Selalu ada alasan atas suatu pilihan hidup yang diambil.
Aku ingat kata mendiang Eyang "Vani, tidak semua orang menikah karena saling mencintai. Eyang berharap bisa lihat kamu seperti itu, tapi kalau tidak bisa, pilih laki-laki yang mencintaimu ya Ndok, bukan yang sebaliknya. Sulit memaksa seseorang untuk mencintaimu, lebih mudah kamu yang belajar mencintai suamimu kelak," Eyang berkata sambil tersenyum.
Lagipula belum tentu laki-laki itu setuju, bertemu muka saja belum. Aku tidak berharap bisa dijodohkan dengan laki-laki berwajah tampan bak Arjuna, lah muka aku enggak selevel sama Drupadi, tapi ogah juga dijodohin sama Rahwana.
Aku sebenernya punya dua pilihan, menerima perjodohan ini atau membawa calon suami ke hadapan ayah. Nah, jangankan calon suami, pacar aja enggak ada. Terus aku harus bawa siapa??? Mas-Mas di sebelah kursiku yang tidur sambil ngorok ini. Iiiih, ngebayanginnya saja sudah membuatku merinding. Otakku kenapa bisa mikir begitu lagi. Mungkin bener kata orang kalau sedang tertekan IQ bisa turun setengahnya.
Seperti biasa, saat hal-hal yang ditakutkan akan terjadi maka waktu seakan terbang dan akhirnya aku tiba juga di kota yang 8 tahun aku ini tinggalkan. Kota yang menyimpan kenangan yang hingga hari ini masih membuat hatiku sesak apabila mengingatnya. Semua orang punya masa lalukan, begitu juga aku.
Tapi sesuai peribahasa dunia tak selebar daun kelor. Aku juga bukan tokoh fiksi di dunia novel yang sempit itu kan??? Jadi tidak mungkin benang-benang masa lalu akan kembali merajut masa depanku lagi di kota ini.
Sesaat setelah keretaku berhenti, aku menyeret koper besarku keluar stasiun, sambil menaikan tudung hoodieku karena hujan tampaknya belum juga mau berhenti. Dari jauh, tampak lelaki tua berjalan membawa payung besar. Dia terlihat antusias sambil melambai-lambaikan tangannya padaku.
"Neng Vani kan? Ih, Si Eneng tambah tinggi gitu, hampir aja Mang Toha enggak ngenalin," suara itu terdengar saat sesosok pria tua dengan gigi depan ompong sudah berada di hadapanku. Dia orang yang sudah lama tidak kutemui. Orang ini supir keluargaku.
"Eh Si Eneng malah ngelamun wae, Neng mending cepet pake payung yang satu lagi, biar Mang yang bawain kopernya, hayu atuh buruan ke mobil!" ajak Mang Toha.
"Siap 86 Mang!" jawabku sambil pura-pura memberi hormat.
"Iih, Eneng masih suka bercanda ternyata. Kalau polisinya kayak Emang gini mah yang babak belur bukan penjahatnya tapi Mang Toha sendiri," jawabnya sambil menyeret koperku ke arah parkiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGET ME NOT (COMPLETED)
General FictionJika hati bisa diajak berlogika maka hidup tidak mungkin serumit ini! Kisah Vanilla yang berusaha move on, namun bagaimana bila benang-benang masa lalu ternyata sudah terangkai menjadi simpul mati dan akan tetap ikut terajut membentuk masa depan yan...