[23] SAMPAI JADI DEBU

978 205 21
                                    

Aarrgghhhh!” teriakku sambil mencoret–coret kertas di hadapanku. Makin hari perasaanku makin kacau, siapa lagi penyebabnya kalau bukan iblis es itu. Bayangkan sejak kepergiannya sebelas hari yang lalu ke Bogor. Benar, bukan hanya 7 hari tapi sudah 11 hari. Maya yang sedang cuti menikah saja sudah kembali bekerja dua hari yang lalu, lah ini katanya cuma periksa pembangunan restoran malah tampak hilang ditelan bumi karena nyaris tak ada kabar.

Aku bukan jenis wanita yang mengekang pasanganku. Mengkonfirmasi keberadaan dan aktivitasnya setiap beberapa jam sekali tidak pernah aku lakukan, bahkan dengan pasanganku sebelumnya. Apalagi aku pernah menjalin hubungan jarak jauh selama bertahun-tahun.

Namun, tidak pernah ada masalah yang berarti terjadi pada kami, kecuali satu masalah yang justru membuat hubungan kami langsung kandas tentunya. Masalahnya itu dipicu wanita lain bukan karena miss communication. Entahlah, mungin juga salah satunya karena masalah komunikasi yang kurang, aku tidak yakin apa sebenarnya salahku pada waktu itu. Mungkin wanita itu lebih perhatian pada Gala dibandingkan aku. Bodo amatlah... Udah berlalu juga!

Emosiku kacau bukan karena kepergiannya tetapi karena dia sama sekali tidak menghubungiku sama sekali. Tidak ada pesan atau telepon darinya selama sebelas hari ini. Mungkinkah dia berada di daerah tanpa sinyal? Tetapi ingat dia cuma pergi ke Bogor bukan wilayah pedalaman Kalimantan. Dia juga tidak mungkin membangun restoran di atas puncak gunung sehingga sulit mendapat sinyalkan.

Kini aku bahkan punya kebiasaan melirik ponselku setiap beberapa menit sekali. Memang apa susahnya mengetik : Vani, aku udah sampai! Tidak akan bikin jari pegel apalagi ngabisin waktu berjam-jam. Sumpah, sebel banget sama kecuekannya itu. Hmm... dia nggak mungkin ketemuan sama Bintari terus kawin larikan??? Enggak... nggak mungkin.

Lalu mengapa aku tidak menghubunginya duluan? Tentu karena harga diriku melarangku. Beberapa kali aku hampir menghubunginya atau mengirim pesan padanya, tapi tidak pernah benar–benar terjadi. Wanita dan harga dirinya. Seperti itulah aku, diriku sadar bahwa aku sendiri yang membuat masalah sederhana menjadi rumit. Walaupun begitu aku tetap tidak ingin menghubunginya duluan.

Aku menegakkan dudukku saat mendengar ketukan pintu diikuti masuknya sosok Maya ke dalam kantorku. Diriku mencoba tetap professional walau hati dan pikiranku sekacau ini rasanya. Bukan hanya kepentingan umum di atas kepentingan pribadi tetapi kepentingan pekerjaan harus diutamakan.

“Ada apa lagi Maya?”

“Itu Teh Vani, lampu ruang tengah mendadak mati?”

“Suruh Ujang pasang lampu baru Maya. Astaga, kenapa kamu malah kasih tahu ke sini, saya enggak bisa pasang lampu!”

“Justru itu Teh, Ujang lagi sakit jadi hari ini dia enggak masuk.”

Astagfirulla hal adzim… Ini sebenarnya hari apa sih, Maya? perasaan dari tadi pagi ada–ada aja masalah yang datang!” ucapku sambil membentur–benturkan dahiku pelan ke meja.

FLASHBACK ON

Aku baru melangkahkan kakiku masuk ke dalam butik dan melihat Maya yang terlihat buru–buru menghapiriku. Aku memberi isyarat padanya untuk mengikuti ke kantorku yang ada di lantai dua. Dari raut mukanya aku yakin dia sama sekali tidak akan menyampaikan berita baik.

“Teh Vani, kain yang datang itu lalu enggak sesuai sama pesanan. Jadi produksi bajunya belum bisa dikerjain hari ini. Gimana ini, takutnya nanti telat selesainya kalau harus tunggu kain baru datang!”

“Kok bisa, kamu udah telepon Bak Serayu buat konfirmasi? Tumben bisa salah!”

“Sudah, katanya ada kesalahan waktu kulir ngambil barangnya, ketuker atau gimana gitu. Tadi pagi baru mau kirim ulang!”

FORGET ME NOT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang