[16] MALAIKAT TAK BERSAYAP

1.1K 219 15
                                    

Setelah Eyang meninggal dunia setahun lalu, kini rumahnya ditempati oleh Bulik Dian. Dia adalah adik bungsu ayahku. Rumah ini adalah rumah keduaku. Sejak kecil aku memang sangat dekat dengan Eyang puteri. Itu mungkin alasan beliau memintaku menemaninya saat Enyang kakung meninggal karena serangan jantung.

Semenjak tinggal Di Yogyakarta, aku memang jarang pulang ke Bandung. Saat Lebaran biasanya seorang anak akan mudik ke tempat orang tuanya, sedangkan aku sebaliknya. Ayah dan Ibu yang akan datang ke Yogyakarta sekaligus menemui Eyang.

Setelah perjalanan panjang, akhirnya kami tiba juga. Kini kami berada di ruang makan setelah membersihkan diri sejenak. Sedangkan Panca sudah menuju rumahmya yang tak jauh dari sini. Sepertinya Bulik Dian juga mengerahkan segala kemapuan memasaknya. Aku memang sudah terlebih dahulu memberi tahukan kedatangan kami padanya.

"Dicobain masakannya Nak Sapta? Enggak usah sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri. Tambah saja makanan yang disuka? Selain bikin gudeg Bulik juga bikin soto," ucap Bulik Dian sambil tersenyum.

"Terima kasih, Bulik," jawab Kak Sapta.

"Loh, Bulik enggak ikut makan?" Aku bertanya saat dia berjalan meninggalkan ruang makan.

"Enggak Vani, Bulik sekarang enggak makan makanan berat kalau sudah malam, terutama nasi!" jawabnya sambil menengok kembali ke arah kami.

"Wah, Bulik diet kayak artis-artis nih, keren." Aku mengacungkan jempol ke arah Bulik Dian. "Vani kalau enggak makan malam malah enggak bisa tidur, Bulik," ucapku sambil terkekeh.

Bulik berbalik "Sopo sing diet, Bulik diabetes Vani!" (Siapa juga yang diet, Bulik diabetes Van!)

Setelah Bulik meninggalkan meja makan aku mengambil mangkuk lalu meracik soto dan memberikannya pada Kak Sapta. Kemudian mengangkat piringnya yang berisi nasi dan gudeg, yang tadi diambilkan oleh Bulik Dian ke arahku dan mengambilkannya sepiring nasi putih lain. Dia memandangku heran.

"Kak Sapta makan sama soto aja, biar gudegnya Vani yang makan. Kak Sapta enggak suka makanan maniskan? Soto Solo mirip soto Bandung kok, kuahnya bening tanpa santan tapi memang enggak pakai lobak kayak di sana. Vani kadang heran, kenapa Kakak sering ngelakuin sesuatu walau enggak sesuai keinginan hati?" tanyaku sambil mulai makan.

"Itu sopan santun, La. Kasihan Bulik udah masak, enggak mungkin aku tolak!" jawabnya enteng.

"Iiish, terus terang lebih baik Kak, kalau di jelasin baik-baik Bulik pasti percaya dan juga enggak akan marah!"

Kak Sapta berhenti makan lalu menatapku lekat "Terus kenapa kamu enggak pernah percaya kata-kata aku? Padahal udah aku jelasin berkali-kali!"

"Eh, Kakak tahu enggak asal-usul nama gudeg. Katanya nih dulu ada warga negara Inggris yang istrinya perempuan Jawa. Istrinya buat makanan pakai bahan nangka muda gitu. Setelah makan suaminya ngomong gini 'good dek'. Nah, dari situ makanan ini mulai disebut 'gudeg' sebagai metamorfosis dari kata 'good dek' atau mungkin juga karena orang-orang emang salah denger aja" kataku panjang lebar.

"Kebiasaan kamu tuh La, kalau diajak ngomong serius pasti ngeles!"

Aku terkekeh, lalu melanjutkan makan. Namun, tiba-tiba aku mendengar suara panggilan dari arah depan.

"VANI... VANI... MAS BAWAIN MARTABAK BUAT KAMU!" teriak Panca.

Memang Panca itu sepertinya menganggap rumah ini rumah kedua juga sepertiku. Tetapi akukan memang keturunan keluarga ini, sedang dia entah keturunan siapa. Bisa dibilang dia malah lebih sering berada di sini dibanding di rumahnya sendiri.

Semua orang termasuk Eyang juga dekat dengannya. Jadi tak ada yang membukakan pintupun, dia akan masuk ke rumah ini sendiri. Sopan sekalikan dia? Sangking sopannya aku kadang ingin menendangnya lalu memberi petuah tentang tata krama padanya.

FORGET ME NOT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang