[38] HALU

1K 187 4
                                    

Aku merapatkan selimut ke tubuhku, memejamkan mata rapat-rapat sambil berusaha menenangkan debar jantungku yang tidak karuan ini. Keringat dingin terasa di dahiku maupun punggungku. Berpura-pura tidur sambil menghitung mundur waktu kedatangannya.

Aku tahu ini salah tapi ketakutanku lebih besar. Rasanya ingin kabur tetapi tidak mungkin melakukannya di depan keluargaku. Memoriku bahkan merekam betapa bahagianya kedua orang tuaku selama prosesi pernikahan berlangsung.

Aku mulai merutuki kebodohanku saat menerima lamarannya dua minggu lalu, seharusnya aku menolaknya saat itu. Tapi aku juga tidak akan sanggup bila kehilangan dia, apalagi melihat dia menikah dengan perempuan lain... Aaaarrrggg... Aku mencintainya... sangat mencintainya.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? jerit hatiku. Apa aku harus mabuk atau minum obat dahulu agar aku tidak sadar saat melakukannya?... you know I mean, right? Bagaimana caranya agar rasa takutku bisa lenyap? Masalahnya aku masih takut neraka jika memilih kedua option tadi. Ya Allah, tolong Vani, doaku dalam hati. Rapalan doaku bahkan belum selesai ketika aku mendengar pintu berderit terbuka.

Saat ini, kami memang menginap di salah satu kamar hotel tempat resepsi pernikahan dilangsungkan. Aku juga lebih dahulu tiba di kamar ini, karena Kak Sapta masih bersama teman-temannya tadi. Diriku bahkan mempercepat ritual mandiku yang biasanya lama itu, lalu memakai piama dan berakhir bersembunyi dibalik selimut seperti sekarang ini. Tentu dengan membereskan semua hiasan yang ada di tempat tidur terlebih dahulu. Sumpah aku risih melihatnya.

Aku memejamkan mata lebih rapat dan berusaha agar tidak bergerak saat kudengar langkah kaki mendekat ke arahku. Aku terkesiap kala merasakan kecupan lama di dahiku. Namun, tidak lama langkah kaki itu kemudian terdengar menjauh hingga aku mendengar suara pintu kamar mandi tertutup.

Sumpah, kini badanku gemetar. Aku berusaha memberi sugesti positif di kepalaku seperti saran dokterku dahulu. Namun, sepertinya usahaku tidak berhasil. Aku ini memang hampir diperkosa bukan sudah diperkosa tapi mengapa ketakutanku sebesar ini? Apa jiwaku memang terlalu lemah? Tak terbayang mereka yang benar-benar jadi korban pemerkosaan yang sesunguhnya.

Aku sadar dia bukan Gala dan akupun mencintai dia. Namun, entah kenapa badanku bisa tiba-tiba begetar saat ada sentuhan yang intim dari lawan jenis? Pokoknya aku takuuuuuuuuut! 

Apa aku berlebihan? Mungkin, tapi coba kau yang merasakan sendiri berada diposisi itu. Empati hanya sekedar kata karena hanya orang yang benar-benar mengalaminya yang tahu bagaimana rasanya. Apalagi tingkat toleransi kejiwaan seseorang menghadapi masalah itu berbeda-beda. Rasanya sekarang aku ingin menjerit keras-keras, tetapi jika aku melakukannya berarti aku tidak bisa berpura-pura tidur lagi.

Debaran jantungku semakin menggila ketika aku dengar suara pintu terbuka. Aku bahkan menahan napasku saat sisi ranjangku berderit. Sepertinya Kak Sapta alias suamiku merebahkan tubuhnya di sampingku. Istri mana yang ketakutan pada suaminya sendiri? Akulah orangnya.

Suamiku... Iya, dia kini sudah berstatus sebagai suamiku namun ketakutanku pada makhluk berjenis kelamin laki-laki tetap tidak berubah ternyata. Napasku tercekat ketika dia memeluk badanku dari belakang, karena aku memang berbaring miring. Alih-alih ingin berteriak seperti tadi aku malah ingin menangis sekarang. Aku merasa bersalah... sangat bersalah padanya.

"Bernapas La, jangan takut sayang. Aku enggak akan melakukan itu tanpa izin dari kamu. Aku cuma ingin peluk kamu aja!" ucapnya pelan sambil menyusupkan kepalanya di rambutku.

Aku meletakan tanganku di atas tangannya "Maaf Kak! Seharusnya Vani enggak terima lamaran waktu itu jadi Kakak enggak kecewa kayak gini!" jawabku dengan suara tercekat.

FORGET ME NOT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang