SAPTA'S POV
Aku terkurung di dalam kantorku, berusaha berkonsentrasi bekerja namun pikiranku sepertinya tidak bisa diajak berkompromi. Meneguk kopi sejenak mencoba menyesapnya dan berharap mendapat sedikit ketenangan. Melirik ponsel di atas meja, aku masih belum bisa menghubungi Lala sejak terakhir bertemu di rumah sakit.
Mama yang datang tiba-tiba ke apartemen dan menemukan aku sedang tertidur dengan panas tubuh di atas 38 derajat. Aku memang tidak tidur ketika menjaga Lala sakit. Banyak pikiran membuatku tidak bisa nyenyak saat tidur di hari-hari berikutnya, belum lagi pola makanku ikut berantakan maka aku divonis mengalami gejala typus oleh dokter.
Ibuku yang memang punya trauma saat anaknya sakit maka memaksaku untuk dirawat saja di Rumah Sakit. Padahal istirahat di rumah beberapa hari dan rutin minum obat sudah cukup bagiku. Aku tidak menyukai suasana di sana jadi perasaanku tak enak. Benar saja di tempat itu masalahku dengan Lala makin menjadi-jadi. Mungkin ini yang disebut firasat.
Sungguh aku ingin menemuinya namun setelah pulang dari Rumah Sakit, aku malah harus ke Bogor lagi. Alhasil lebih dari dua minggu aku lost contact dengannya. Sepertinya, kali ini dia benar-benar serius dengan kemarahannya.
Apalagi nomorku masih diblokir olehnya, biasanya aku masih bisa mengetahui keadannya lewat Maya. Namun kini Maya juga sulit dihubungi. Menelepon butik selalu dibilang sedang di luar karena inilah itulah. Aku sadar dia marah, tetapi bagaimana menjelaskan padanya bahwa Tari bukan siapa-siapa bagiku.
Tari sudah kuanggap seperti adikku sendiri, sehingga aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Kejadian tidak sengaja yang melibatkan Tari justru membuat kesalah pahaman baginya. Semakin hari aku merasa Lala mulai menjauhiku.
Mengacak rambutku frustasi, gadis ini entah dulu maupun sekarang selalu bisa berhasil membuatku kacau. Vanilla Kalinda Utomo, Lala begitu aku memangilnya. Pertama kali aku mengenalnya saat insiden bola voli di SMA.
Awalnya aku marah pada pelaku pelemparan bola yang berhasil membuat kepalaku berdenyut menyakitkan saat digerakan, namun saat aku melihat pelakunya berdiri di depanku. Kurasa kemarahanku makin memudar, bukan karena dia terlihat cantik dan memukau sehingga membuatku jatuh cinta. Akan tetapi, di mataku dia malah seperti seekor rusa yang sedang tersesat.
Mungkin karena pukulan bola itu terlalu kencang dan merusak kinerja otakku atau karena alasan lain yang tidak aku tahu. Kini mataku seolah menangkap sosok Lala di mana-mana. Aku tahu dia juniorku di OSIS, tapi perasaan aku tidak pernah tertarik apalagi memperhatikan sosok cewek itu.
Apa aku menyukainya? Bahkan mencintainya? Jawabannya aku yakin TIDAK sama sekali. Dia seperti adik bagiku, apalagi aku memang kehilangan adik kecilku Anye. Kehilangan secara tiba-tiba membuatku gamang, apalagi Mama depresi juga. Keadaan di rumah tidak kondusif makin membuat hidupku monotone.
Namun, semenjak mengenal Vani membuat masa-masa SMA rasanya tidak hanya berwarna putih dan abu-abu saja, tetapi beragam warna. Hari-hariku yang monotone di sekolah tidak terasa membosankan lagi bagiku. Lala bukan jajaran cewek populer atau cewek yang terkenal karena kepintarannya, dia lebih cocok di sebut cewek aneh menurutku.
Kini aku punya kebiasaan baru yaitu mengerjai Lala di manapun dan kapanpun selagi bisa. Aku suka melihatnya menampakan berbagai ekspresi di mukanya yang biasanya datar. Tingkahnya yang luar biasa ceroboh, belum lagi pikirannya yang agak absurd menjadi hiburan tersendiri bagiku.
Paling parahnya, dia mulai menjodohkanku dengan sahabatnya Tari. Aku kadang heran, apa yang membuatnya rela bekerja kerasa hanya untuk membantu orang lain? Berbanding terbalik dengan aku yang tidak pernah mau ikut campur urusan orang lain, kecuali urusan Lala mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGET ME NOT (COMPLETED)
General FictionJika hati bisa diajak berlogika maka hidup tidak mungkin serumit ini! Kisah Vanilla yang berusaha move on, namun bagaimana bila benang-benang masa lalu ternyata sudah terangkai menjadi simpul mati dan akan tetap ikut terajut membentuk masa depan yan...