Yogyakarta (masa lalu)
Hari sudah gelap saat aku bersiap untuk pulang. Mengunci pintu kantorku, sebenarnya toko sudah ditutup sejak 2 jam lalu. Namun, masih ada dua orang pegawai toko yang masih sibuk membereskan barang–barang di etalase. Merapikan semua barang untuk dijual keesokan harinya.
Memang Eyang menyediakan tempat bagi pegawai di bagian belakang toko. Mereka adalah orang kepercayaan Eyang yang juga bertugas menjaga toko di malam hari. Walaupun kini Eyang sudah meninggal, tetapi tidak ada yang berubah dalam pengaturan toko.
“Mbak Vani sudah mau pulang? Hati–hati Mbak, sudah malam soalnya! Jam sebelas kurang 10 menit ini,” ucap Pak Timo dengan bahasa Indonesia tapi logat Jawa medok. Memang sudah dua hari ini aku pulang larut karena ada masalah tentang laporan keuangan yang tidak balance dengan jumlah barang.
“Iya Pak, tenang aja Vani udah biasa pulang malam. Paling setengah jam sudah sampai, soalnya jalanan sepi kalau malam. Vani duluan Pak! Assalamualaikum,”
"Wa'alaikumsalam," jawab mereka serempak.
Keluar lewat rolling door yang belum tertutup sempurna lalu berjalan ke tempat mobilku terparkir. Memasuki mobil dan baru akan memasang seat belt ketika pintu sebelah kiriku terbuka. Mataku membola saat memandang Gala yang tiba–tiba masuk.
Memang sejak kejadian aku mendengar percakapannya dengan Gendis di rumahnya waktu itu tentang... Aaarrrgggg... Aku tak ingin menyebutkannya. Hingga kini hampir dua minggu aku memutuskan kontak dengannya ataupun keluarganya. Dia memang selama seminggu pertama itu terus mendatangiku entah di toko ataupun di rumah, namun aku tidak pernah keluar untuk menemuinya.
Aku kira dia sudah menyerah karena seminggu berikutnya dia tidak melakukan pergerakan apapun. Aku lupa kalau pacarku... Eh, mantan pacarku itu polisi jadi dia pasti mempersiapkan rencana jitu. Anggap saja dia kini sedang melancarkan serangan fajar. Hmm, serangan menjelang tengah malam tepatnya.
Jujur perasaanku kacau apabila mengingat apa yang sudah dia lakukan. Marah, kesal, sedih, heran bercampur menjadi satu. Dia seperti orang lain yang tidak aku kenali lagi. Tetapi pria tetap saja pria, jika ada perempuan cantik dan seksi siapa yang nolak, kecuali dia memiliki orientasi menyimpang. Apalagi Gendis adalah mantannya jadi godaannya double.
Sebenarnya selama tiga tahun aku menjalin hubungan dengannya, tidak pernah dia menunjukan ketertarikan berlebihan pada perempuan manapun. Singkat kata Gala bukan jenis pria jelalatan. Dia bahkan mengabaikan teman–teman kampusku yang flirting kepadanya. Padahal aku sadar mereka lebih cantik dariku.
Mungkin benar kata orang, bahwa cinta pertama sulit dilupakan. Tapi yang dilakukan mereka berdua terlalu jauh dan menyakitiku begitu dalam. Ternyata 3 tahun… sekitar 1095 hari yang kami lewati… nyaris tampak tidak ada artinya baginya. Harapan masa depanku dengannya sudah musnah. Cintaku kandas, hilang tak berbekas dan akhirnya angan–angan masa depanku bersamanya harus aku lepas.
Kebencianku padanya masih terlalu besar, maka kupandang dia dengan nyalang “KELUAR DARI MOBIL VANI!”
“Dengerin penjelasan aku dulu Vani, sekali ini aja, please!” sergahnya dengan mimik mengiba.
“KELUAR VANI BILANG!!!”
“Sayang, maaf, aku khilaf waktu itu. Aku cintanya cuma sama kamu!”
“CINTA KAMU BILANG… BULLSHIT! SATU LAGI, JANGAN PERNAH PANGIL SAYANG KE VANI!!!”
Dia mengacak rambutnya frustasi “Aku harus ngapain biar kamu percaya dan maafin aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGET ME NOT (COMPLETED)
General FictionJika hati bisa diajak berlogika maka hidup tidak mungkin serumit ini! Kisah Vanilla yang berusaha move on, namun bagaimana bila benang-benang masa lalu ternyata sudah terangkai menjadi simpul mati dan akan tetap ikut terajut membentuk masa depan yan...