"IBUUU!!!" Aku berteriak sambil berlari turun tangga menuju ruang makan.
"What happen... Aya naon Neng? Anak gadis suaranya kenceng gitu. Perasaan dulu, ibu nggak ngidam makan toa masjid pas hamil kamu. Tapi suara kamu ampuuuun!" balas Ibu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir.
"Ibu bisa enggak sehari aja serius!"
"Aduh Neng, siapa coba yang pagi-pagi udah teriak-teriak? Ibu mah enggak bohong, suara kamu itu udah bisa nyaingin suara Mang Jupri tukang sayur keliling!" jawabnya sambil memakan lontong sayurnya.
"Ibu nggak usah ngalihin pembicaraan. Gimana ceritanya Ibu bisa kenal sama Kak Sapta?" tanyaku sambil membuka toples berisi kerupuk ikan.
Aku nyaris tidak bisa memejamkan mata semalaman memikirkan hal ini. Bagaimana mungkin calon suamiku itu Kak Sapta? Aku saja bingung dijodohkan dengan laki-laki itu termasuk jenis kejatuhan duren atau kejatuhan tangga.
Dari sekitar 2,5 juta penduduk Kota Bandung yang pastinya bertambah setiap harinya, mengapa justru harus dia orangnya. Ini juga bukan tanggal 1 April, lalu lelucon macam apa ini? Sepertinya aku butuh aspirin segera.
Aku yakin dia tidak kenal keluargaku. Hubunganku juga tidak sebaik itu dengannya. Tidak pernah sekalipun dia mengantarkanku pulang. Bahkan Tari saja yang adalah sahabatku belum pernah kubawa kerumahku.
Tapi kalau diingat-ingat tidak ada raut terkejut dari wajahnya saat melihatku. Itu lebih aneh lagi. Entahlah, makin aku berpikir makin bingung aku dibuatnya.
"Ibu juga baru lihat orangnya tadi malam. Ayah hanya kasih lihat foto anak sahabatnya semasa kuliah dulu. Katanya kebetulan ketemu, kebetulan ngombrol dan kebetulan anaknya sama-sama belom laku."
"Ih Ibu emang aku barang dagangan, pakai istilah 'laku' segala. Lagipula, memang bisa kebetulan sebanyak itu? Makin enggak masuk akal aja, Bu!" Makin semangat makan kerupuk, ternyata enak juga.
"Kalo cerita lengkapnya, harusnya kamu tanya Ayah dong. Tapi sayangnya, Ayah udah berangkat ke Ciamis dari subuh. Biasalah ngurusin tanaman kakaonya tersayang" jawabnya agak ketus.
"Hah..."
"Tapi harusnya Ibu yang tanya, selain adik kelas waktu zaman SMA. Apa dia itu mantan kamu, kok ibu merasa mencium bau-bau CLBK gitu?" tanya Ibu curiga.
Mataku menyipit memandang sinis Ibu "Ibdhu emnakg ajgb klogmog !"
Ibu malah geleng- geleng melihat kelakuan aneh anak gadisnya ini "Kalo ngomong itu, telen dulu Neng. Mana bisa ibu ngerti bahasa planet kaya gitu!"
Menyipitkan matanyaAku mengulangi ucapanku "Ibu enak aja kalo ngomong!" Menelan kerupuk lalu melanjutkan "Ini nih karena Ibu keseringan nonton acara Pagi-Pagi Pasti Gibah jadi suka bikin kesimpulan sendiri yang ngawur."
"Ih enak aja! Kayaknya kamu yang suka nonton, sampe hapal baget. Lagian kamu bisa dituntut karena ganti nama acara sembarangan."
"Katanya enggak nonton tapi hafal nama acaranya!"
"Ish..."
"Atau Ibu mau gantiin Mbah Mijan ya, sok-sok mau nerawang? Tapi kayaknya nggak bisa deh Bu, tebakan ibu meleset jauuuuuuh!" balasku lalu mengunyah kerupuk lagi.
FLASHBACK ON
"Vani buruan ganti bajunya, ntar kita di hukum Pak Simatupang kalo telat pelajaran olah raga!" suara tak sabar ditambah gedoran pintu menganggu aktivitasku.
Tapi bisa fatal kalau kami telat, sebab hukuman lari keliling lapangan sudah disediakan sebagai menu pembuka bagi murid yang terlabat datang. Akupun segera keluar dan berlari bersama Tari ke lapangan. Kami tentu sudah berganti seragam olahraga.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGET ME NOT (COMPLETED)
Ficción GeneralJika hati bisa diajak berlogika maka hidup tidak mungkin serumit ini! Kisah Vanilla yang berusaha move on, namun bagaimana bila benang-benang masa lalu ternyata sudah terangkai menjadi simpul mati dan akan tetap ikut terajut membentuk masa depan yan...