Papan majalah sekolah siang itu kembali menjadi pusat perhatian murid-murid kelas IPA. Nilai ulangan Biologi yang kemarin terpampang di balik kaca pembatas. Janu yang juga penasaran dengan nilainya pun mendatangi tempat itu. Tampaknya Lavanya sudah berada di depan papan pengumuman itu terlebih dahulu, sedang memandang kertas bertuliskan nama beserta nilai ulangan yang didapat. Janu berdiri di belakangnya, Lavanya masih tak sadar dengan kehadiran pria itu. Nomor satu, Janu Karunasankara, 100. Lavanya tersenyum getir, namanya sendiri ada di urutan nomor 7 dengan nilai 78.
Lavanya membalikkan badannya perlahan niat ingin pergi dari tempat itu, namun tertaham sejenak karena sosok yang ada di hadapannya kini.
"Selamat, Nu." ucap Lavanya singkat lalu mengambil langkah di sisi kanan Janu meninggalkan area papan majalah sekolah itu. Suara Janu tertahan di tenggorokannya saja, tak mampu terucap. Janu makin gusar karena ia melihat nama Jaden di urutan nomor 2.
***
Kayla menuntun sepeda kayuhnya sendiri lagi sore itu setelah Janu meneleponnya untuk memintanya pulang terlebih dahulu karena ada urusan, bukan belajar bersama dengan Lavanya katanya. Sementara Janu dengan setengah berlari, ia menuju ke kantor Kepala Yayasan. Langkahnya berhenti di depan pintu ruangan, menormalkan deru nafasnya sembari merapikan seragamnya.
Tok tok tok.
Janu mengetuk pintu yang setengah terbuka itu, memunculkan sebagian kepalanya memastikan apakah orang yang ia cari ada di dalam ruangan. Pak Janardana yang sedang sebuah pigura kecil pun segera meletakan benda itu dan membaliknya saat tahu Janu yang datang menemuinya.
"Janu? Ada perlu apa? Silahkan masuk." Pak Janardana berdeham sejenak lalu mempersilahkan Janu masuk ke ruangannya. Janu pun mengambil langkah menghampiri meja Pak Janardana dan duduk di kursi, berhadapan dengan Kepala Yayasan Gautama itu.
"Saya mau mengajukan beasiswa, Pak." kata Janu terus terang. Pak Janardana menaikkan sebelah alisnya.
"Beasiswa?"
"Iya, Pak. Bapak tahu kan saya selama ini tinggal bersama Kayla. Kayla sendiri sekolah di sini karena beasiswa dan selama ini dia juga yang membayar biaya sekolah saya. Jadi saya mengajukan beasiswa karena tidak ingin memberatkan keluarga Kayla." Jelas Janu. Pak Janardana mendengarkannya dengan seksama. Lalu menganggukan kepalanya tiga kali.
"Bisa. Saya juga tahu nilai kamu selalu bagus. Saya akan urus beasiswa kamu, tapi yang kamu dapatkan sama seperti Kayla. Sisa biaya tetap kamu harus bayar sendiri ya." kata Pak Janardana. Seketika senyum Janu merekah sempurna.
"Baik, terima kasih banyak, Pak."
"Tapi ingat, nilai kamu harus dipertahankan."
"Iya, Pak. Saya janji. Terima kasih sekali lagi, Pak."
"Iya, Janu. Kamu boleh pulang, hati-hati ya."
Janu beranjak dari tempat duduknya tanpa menghilangkan senyumnya. Pak Janardana juga tersenyum melihat anak laki-laki itu hingga ia keluar dari ruangan pribadinya itu. Janu yang baru mengijakkan kakinya ke tekel yang berbeda dibuat sedikit terkejut karena hampir bertabrakan dengan tubuh Jaden. Lelaki itu hanya melirik malas sosok Janu lalu kembali melangkahkan kakinya yang sempat terhenti menuju ke ruangan ayahnya.
"Jaden,"
"Janu ngapain barusan, Yah?"
"Dia minta beasiswa." Jaden menyunggingkan senyuman miringnya.
"Den, kenapa nilaimu nggak ada progress Ayah lihat-lihat? Stuck terus nilainya, kamu mau bikin Ayah malu?"
"AYAH! Jaden udah berusaha semampu Jaden, Jaden belajar sampai capek sampai Jaden nggak ngerti harus pakai cara apa lagi belajarnya. Jaden pasti mau bawa nama baik Ayah, Jaden mau dicap sebagai anak Kepala Yayasan Gautama yang pinter."
KAMU SEDANG MEMBACA
KARUNA SANKARA | Jungwoo ✔️
Teen Fiction[ Telah dibukukan ] 𝒀𝒐𝒖 𝒏𝒆𝒗𝒆𝒓 𝒓𝒆𝒂𝒍𝒍𝒚 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒔𝒐𝒎𝒆𝒐𝒏𝒆 𝒖𝒏𝒕𝒊𝒍 𝒚𝒐𝒖 𝒍𝒆𝒂𝒓𝒏 𝒕𝒐 𝒇𝒐𝒓𝒈𝒊𝒗𝒆. Memaafkan orang lain terlebih dahulu sebelum orang itu meminta maaf pada kita, apakah itu hal yang mudah? Persaingan pendidi...