24. Ujian Nasional dan Pangandaran

40 4 0
                                    

Pagi yang cerah di hari pertama Ujian Nasional. Dengan berbekal doa Ayah dan Ibu, Kayla dan Janu berangkat ke sekolah dengan wajah gemilang. Tiada rasa takut ataupun gugup dirasa kedua anak itu. Janu mengayuh sepeda yang sudah beberapa hari tidak ia sentuh itu dengan semangat. Kayla sendiri rindu dibonceng oleh Janu seperti hari-hari yang lalu, dan kini ia bisa kembali mendapatkannya.

"Jangan sampai lupa rumus matematika yang tadi ya, Kay." seru Janu.

"Iyaaa! Tapi kalau aku lupa gimana dong?"

"Kita telepati aja, hahahaha." Gelak tawa terdengar di antara mereka. Angin sepoi menyapa rambut panjang Kayla, sinar hangat mentari juga menemani perjalanan mereka menuju sekolah.

Tak sampai sepuluh menit kemudian, sepeda yang mereka tumpangi sudah terparkir di area sekolah. Tidak disangka sudah banyak murid yang datang, tak lupa dengan buku-buku catatan yang mereka pegang. Mata mereka sibuk membaca, menyerap dan menghafal setiap materi pelajaran yang akan diujikan.

"Aku nyari ruanganku dulu ya, Nu. Good luck!" pamit Kayla pada Janu. Ia pun berlari masuk ke gedung sekolah mengarah ke koridor yang berbeda dengan Janu.

Janu pun segera mencari ruangan tempat ia akan mengerjakan ujian. Sampailah dia ruangan ujian dengan sapaan dari beberapa murid yang menanyakan keadaannya. Beberapa hari tidak masuk kelas rasanya sedikit canggung baginya. Tak jauh dari ruangan kelas yang masih dikunci itu, Jaden duduk di salah satu bangku ujung koridor, sedang menatap bukunya dan menggerakan bibirnya menghafal materi pelajaran. Janu berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Nu." Lukas datang merangkul pundak Janu, tersenyum lebar tanpa beban apapun.

"Eh iya, Kas. Lo belajar kan?"

"Hahaha, iya lah. Gue udah tobat. Lo sehat kan?"

"I am totally fine. Ngomong-ngomong setelah ini lo mau nerusin kemana?"

"Habis SMA? Kata bokap mau kuliahin gue Bisnis. Padahal gue mau jadi dokter."

"Sejak kapan lo mau jadi dokter? Yang ada pasien lo malapraktek semua lagi."

"Ya enggak lah, Bro. Dibilangin gue udah tobat."

Sela gelakan tawa dari keduanya.

"Nu, Jaden akhir-akhir ini kayaknya dia sedih gitu deh." Bisik Lukas.

"Hm?"

"Pokoknya kelihatan banget kalau dia sedih, depresi gitu. Kadang kelihatan kalo dia nahan emosi sama nahan nangis."

"Dia ada masalah?"

Lukas menarik tangan Janu yang diperban. "Ini karena Jaden kan? Dia sekarang pasti dalam masa-masa penyesalan, Nu."

Alis Janu menyatu, pikirnya kalau Jaden benar menyesal dengan perbuatannya selama ini tentu saja itu hal yang bagus. Namun semakin Janu memperhatikan Jaden, ada hal yang yang dirasa membuat Jaden begitu sedih.

"No, Kas. Gue yakin ada hal yang bikin dia sesedih itu."

Sementara itu, di bangku ujung koridor Jaden terus fokus menatap buku pelajarannya. Ya, matanya menatap tiap tulisan yang tercetak di buku itu, namun pikirannya melayang, hatinya tak tenang. Tangannya bahkan sampai mengepal menahan emosi. Di telinganya terus berdengung kata-kata Ibunya semalam.

"Saya mau cerai." Jaden melihat Ibunya berkacak pinggang di depan Ayahnya. Wajahnya terlihat angkuh. Pak Janardana pun terkejut bukan main dengan pilihan sang istri.

"Lin, saya tahu kamu nggak lagi cinta sama saya. Tapi tolong bertahan demi Jaden."

"Untuk apa saya bertahan untuk anak yang bukan anak saya."

KARUNA SANKARA | Jungwoo ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang