Jaden membanting pintu rumah cukup keras, berjalan cepat tak mengindahkan ayahnya yang sedari tadi memanggil namanya. Namun langkah kakinya akhirnya berhenti, perlahan berbalik badan menemukan sosok ayahnya yang begitu murka.
"Jaden, ayah nggak tahu sekeras apa hati kamu sekarang. Tapi kamu sadar nggak, kamu hampir bikin orang bunuh diri?"
"Salah Jaden? Orang Janu sendiri kan, bukan Jaden yang mau bunuh dia."
"Kamu sudah menyakiti mental Janu, kamu sudah terlalu jauh. Ayah nggak pernah ngajarin kamu untuk merundung orang lain. Ayah meminta kamu mendapat nilai baik dengan belajar, bukan dengan menghilangkan nyawa orang lain."
"Jaden sudah bilang berapa kali, Yah. Jaden capek. Jaden sudah belajar semampu Jaden tapi Janu tetep aja berada di atas. Jaden juga bingung harus ngelakuin apa lagi sementara ayah ngeluh terus kalau Jaden ini bikin malu ayah karena nilai Jaden. Dan satu lagi, saat Jaden ngeluh capek Ayah nggak pernah sama sekali ngasih bahu ayah untuk Jaden. Yang anak ayah itu Jaden atau Janu?"
"Jaden—"
"Angkat aja Janu jadi anak ayah, tapi Jaden nggak mau lagi jadi anak ayah."
Jaden melanjutkan langkahnya menuju kamarnya dan lagi-lagi membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia melemparkan tasnya ke sembarang arah, dengan emosi yang masih meluap ia mengambrukan semua buku yang ada di meja belajarnya dan rak bukunya hingga tumpah berantakan. Baru detik itu Jaden merasa sangat sakit hingga air matanya jatuh tanpa disuruh. Ia kecewa dengan ayahnya, keadaan, dan dirinya sendiri.
Jaden terduduk lemas di lantai kamarnya yang dingin, dikelilingi buku-bukunya yang berserakan. Selembar kertas foto menyita perhatiannya, benda itu terselip di antara album foto. Jaden mengusap air matanya dengan kasar dan mengambil lembar foto itu. Ia merasa pernah melihat foto yang sama di tempat lain namun sayangnya ia tidak ingat. Jaden melemparkan foto itu bersamaan membuang rasa pedulinya, masa bodoh dengan rasa penasarannya, yang kini ia rasakan hanyalah sakit.
***
"Ma, mama tahu foto ini?" Jaden keluar dari kamarnya menghampiri ibunya yang sedang mengupas apel untuk sarapan.
"Foto apa, Den?" Jaden menyodorkan lembar foto yang ia temukan semalam pada ibunya untuk dilihat. Ibunya menaikkan alis.
"Eh, ya ampun mama sampai lupa kalau ada foto ini. Ini kamu pas bayi foto sama bayi anak temennya mama." jawab Ibu Jaden.
"Oh.."
"Kamu nemu dimana?"
"Kemarin Jaden beres-beres kamar ketemu foto ini. Ya udah, Jaden berangkat dulu ya, Ma."
"Ini makan apelnya dulu, Nak." Jaden mengambil apel yang sudah dikuliti ibunya dan menggigitnya. Ibu Jaden tersenyum, Jaden mengecup kening Ibunya lalu berlari keluar rumah.
"Jaden udah berangkat?" tanya Pak Janardana pada sang Istri.
"Udah. Mas, dia nemu foto itu."
"Foto apa?"
"Foto yang selama ini Mas sembunyikan dari dia. Oh iya, aku buru-buru, ini apel sama kopi udah aku siapin." Istri Pak Janardana meraih tas mahalnya melangkah keluar rumah sambil membawa kunci mobil miliknya sendiri.
Pak Janardana masih terdiam di ruang makan, duduk lalu menyesap sedikit kopi yang dibuatkan oleh istrinya. Ia menghela nafas dalam, entah pikiran berat apa yang sedang bergulir di dalam kepalanya.
Di luar rumah Pak Janardana, mobil istrinya sudah siap untuk pergi. Ibu Jaden tak sadar kalau Jaden masih berada di dekatnya, memantau ibunya dari dalam mobil. Mobil silver milik Ibu Jaden pun bergerak menuju ke jalan raya, Jaden mengikutinya perlahan, berusaha supaya mobilnya tak begitu terlihat namun mampu mengejar kemana mobil ibunya pergi pagi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARUNA SANKARA | Jungwoo ✔️
Teen Fiction[ Telah dibukukan ] 𝒀𝒐𝒖 𝒏𝒆𝒗𝒆𝒓 𝒓𝒆𝒂𝒍𝒍𝒚 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒔𝒐𝒎𝒆𝒐𝒏𝒆 𝒖𝒏𝒕𝒊𝒍 𝒚𝒐𝒖 𝒍𝒆𝒂𝒓𝒏 𝒕𝒐 𝒇𝒐𝒓𝒈𝒊𝒗𝒆. Memaafkan orang lain terlebih dahulu sebelum orang itu meminta maaf pada kita, apakah itu hal yang mudah? Persaingan pendidi...