Malam berlalu, kembali memulai pagi yang baru. Dokter kembali memeriksa keadaan Janu yang juga sudah bangun. Walau tubuhnya masih lemah, namun matanya bisa ia buka sempurna melihat seisi ruangan yang menampungnya beberapa hari ini.
Pak Janardana menarik kursi dan menempatkannya didekat ranjang Janu. Ia duduk, memandang anaknya dengan senyum tipis yang terukir.
"Kamu cukup mendengar saja, kamu boleh berkomentar kalau kamu sudah sembuh." Pria itu tertawa kecil.
"Mungkin kamu kemarin mendengar hal yang sangat sulit untuk kamu percayai. Saya bukan hanya kepala sekolah kamu, tapi saya juga ayah kamu. Ayah kandung kamu. Lalu Jaden, dia memang benar saudara kembar kamu. Kalian lahir bersama, namun karena keegoisan saya, kalian tidak tumbuh bersama. Jaden juga baru tahu akan hal ini. Dia baru tahu karena melihat DNA kamu yang cocok dengannya. Jaden mendonorkan darahnya untuk kamu, karena dalam tubuh kalian mengalir darah yang sama. Ayah, minta maaf karena menutupi semuanya ini, Janu. Ayah baru sadar semakin ayah menutupi hal ini, semakin membuatmu sakit. Ini semua salah ayah." Pak Janardana menundukkan kepalanya sekejap dan kembali menatap anaknya.
"Ayah akan menebus semua kesalahan ayah. Ayah mau kamu sembuh, ayah mau menyekolahkan kamu dengan layak sampai kamu bisa mewujudkan cita-cita kamu."
"Mas Janar.." Suara seorang wanita tiba-tiba terdengar dari arah pintu masuk. Pak Janardana menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati seseorang yang sudah lama tak ia temui.
"Dilla."
Janu yang mendengar nama Bundanya dipanggil segera menoleh ke arah pintu masuk. Pandangannya buram karena matanya tak sedang dibantu oleh lensa kacamata. Ia hanya melihat wanita berpakaian warna hitam putih dengan beberapa orang yang ikut masuk ke dalam ruangan itu.
Bersamaan dengan keluarga Kayla yang tiba setelah dijemput Kayla dan Jaden, mereka pun mengernyit melihat orang-orang itu berada di ruangan Janu.
"Arun.. Ini Bunda, Nak." panggil wanita itu lagi. Ia melangkahkan kaki mendekat untuk melihat anaknya yang sudah lama ia cari-cari. Sayang, ia menemukan anaknya sedang terbaring di rumah sakit.
"Bunda.." ucap Janu sekuat tenaganya. Kini matanya melihat dengan jelas Bundanya dari dekat. Sosok yang sangat ia rindukan setengah mati. Janu percaya dengan segenap hatinya yang lihatnya kini adalah benar Bundanya.
"Kamu apakan anak aku, Mas? Kenapa dia jadi begini? Hah? Kamu apakan anak aku, as?" Suara Bunda Janu meninggi, tangannya juga memukul dan mendorong dada Pak Janardana.
"Dilla, aku sedang menjaga anak kita."
"Menjaga apa? Lihat dia sekarang! Kamu yang bikin Arun seperti ini kan? Kamu yang selama ini ngambil anak aku? Kamu itu nggak punya hak untuk menyentuh Arun!" Emosi Bunda Janu menyulut. Suaminya dan Danu segera menahan tubuh Dilla yang dikuasai emosi.
Kuping Janu sedikit berdenging mendengar amarah Bundanya. Di depan matanya, ia bisa melihat sosok lain yang sudah lama tidak ia temui.
"Papa.. Kak Danu.." lirih Janu. Dua sosok perempuan juga datang mendekat.
"Bun, tenang, Bun. Di sini ada Janu lagi sakit.." Saras ikut memegang tangan Bundanya.
"Kalau terjadi apa-apa sama Arun, aku nggak segan-segan laporin kamu ke polisi, Mas." Tak ingin larut dalam emosinya sendiri, Bunda Janu kembali mendekati Janu. Mendekap anaknya dan mengusap rambut Janu dengan lembut.
"Bunda.."
"Iya, Nak. Bunda di sini. Arun nggak boleh sakit ya, Arun sembuh. Nanti makan bareng lagi sama Saras, Danu, Jihan ya."
Danu dan Papanya menatap anak dan ibu yang baru dipertemukan kembali itu dengan sendu. Saras mengusap kaki Janu yang ditutupi selimut, Jihan meraih dan menggengam tangan kakaknya itu. Mereka menyalurkan rindu yang selama ini terpendam.
![](https://img.wattpad.com/cover/263039812-288-k788024.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KARUNA SANKARA | Jungwoo ✔️
Novela Juvenil[ Telah dibukukan ] 𝒀𝒐𝒖 𝒏𝒆𝒗𝒆𝒓 𝒓𝒆𝒂𝒍𝒍𝒚 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒔𝒐𝒎𝒆𝒐𝒏𝒆 𝒖𝒏𝒕𝒊𝒍 𝒚𝒐𝒖 𝒍𝒆𝒂𝒓𝒏 𝒕𝒐 𝒇𝒐𝒓𝒈𝒊𝒗𝒆. Memaafkan orang lain terlebih dahulu sebelum orang itu meminta maaf pada kita, apakah itu hal yang mudah? Persaingan pendidi...