43

23 70 0
                                    

Dunia terasa berhenti berputar, oksigen terasa sulit untuk di hirup. Atmosfer pada pijakannya pun mendadak sulit untuk ia netralkan, terasa berubah dalam hitungan detik. Ayesha masih tidak bisa berkedip, namun tidak juga dengan mata yang melebar. Tatapannya membeku pada wajah tampan milik Alfariel, tidak bisa teralihkan sama sekali.

"Gue boleh duduk?"

Ayesha tersadar. Ia mengerjapkan matanya, lalu menatap Alfariel bingung. Selanjutnya ia mengangguk kaku.

Alfariel menarik kursi di hadapan Ayesha, lalu duduk di sana. Ia memperhatikan Ayesha yang kini membuang muka dengan melihat ke samping kirinya.

Alfariel tersenyum, merasa senang karena melihat Ayesha baik-baik saja. Ia tidak melihat ada luka baru di tubuh gadis itu. Itu artinya, Raquel tidak lagi mengganggu Ayesha. Mungkin, karena mereka sudah jarang bertemu karena Raquel tidak lagi ada di sekolah.

"Kabar lo gimana?" Alfariel membuka obrolan.

Ayesha menoleh, lalu mengangguk, "Gue baik. Lo, gimana?"

"Gue juga baik." Alfariel tersenyum kepada Ayesha. Senyuman yang sebelumnya sering ia berikan, namun kali ini terasa berbeda untuk Ayesha. Ia merasa seperti ada yang berdesir pada tubuhnya saat melihat Alfariel tersenyum kepadanya.

"Kok lo bisa di sini?" Ayesha menaikkan kedua alisnya.

"Gue janjian sama Mirza buat ketemu di sini."

Jawaban Alfariel membuat kening Ayesha berkerut, "Mirza? Tapi malam ini Mirza ada janji sama gue."

Alfariel terkekeh, "Nggak perlu bingung, Mirza udah balik. Kayaknya emang dia ngerencanain untuk buat gue ketemu sama lo."

Ayesha mendecak kesal dalam hatinya. Ia berjanji akan memaki Mirza saat bertemu di sekolah besok. Bisa-bisanya pria itu mempertemukannya dengan Alfariel hanya berdua saja. Apa yang harus Ayesha lakukan dengan perasaannya yang sekarang?

"Jadi ini yang lo maksud malam khusus berdua, Za. Lo bakal mati dengan ginjal yang busuk karena gue setrum besok di sekolah. Liat aja, bakal mampus lo sama gue."

"Keadaan Om Arwin sama Lisa gimana? Baik juga, kan?"

Ayesha menoleh, lalu mengangguk, "Baik juga kok, Al. Malah, ayah sama Lisa keliatan lebih nyaman di sini dari pada di Bogor."

"Gue ikut seneng dengernya. Gue harap Om Arwin sama Lisa, baik-baik aja di sini. Lo juga."

Ayesha tersenyum kaku dengan sedikit menunduk. Ia mencengkram ujung baju yang ia kenakan karena merasa sangat gugup berhadapan dengan Alfariel.

"Gue liat, Healthy cafetaria makin berkembang, ya? Selamat ya. Gue rasa, nggak lama lagi lo perlu buka cabang."

Ayesha tertawa kecil, "Kayaknya nggak dulu, Al. Gue nggak kepikiran ke sana dulu."

Alfariel tersenyum, lalu mengangguk, "Kalau perlu apa-apa, lo boleh kabarin gue. Gue masih mau bantu lo kalau lo kesulitan sesuatu."

Ayesha mengangguk saja mendengarkan ucapan Alfariel, meskipun ia tidak berkeinginan untuk meminta tolong apapun pada pria itu. Sebisa mungkin Ayesha akan menyelesaikan masalahnya sendiri. Kalau pun ia membutuhkan bantuan, ia akan terlebih dahulu meminta bantuan pada Mirza atau siapa pun yang lain selain Alfariel.

"Gue denger dari Mirza, lo udah mulai ngampus, ya?"

Alfariel mengangguk, "Masih simba. Minggu depan mungkin baru aktif masuk kelas."

Ayesha manggut-manggut mendengar ucapan Alfariel. Entah mengapa mereka jadi kikuk seperti sekarang. Ayesha sudah tidak melihat Alfariel yang bawel seperti sebelumnya. Biasanya, pria itu tidak berhenti berbicara meskipun Ayesha tidak menanggapi. Namun kali ini, Ayesha seperti melihat Alfariel dengan versi yang berbeda.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RUMITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang