25. Your Eyes

2.1K 272 203
                                    

Keesokan harinya...

Waktu sudah menunjukkan jam 4. Setelah 2 hari Laras bertugas di apartemen, kini ia sudah kembali berada di rumah. Sebab sekarang giliran Bang Didi yang bertugas di apartemen.

Dari 20 orang ART, hanya 4 orang saja yang Michael inginkan untuk menemaninya di apartemen. Laras, Kaisar, Bu Susi, dan Bang Didi.

Dan Laras kini sedang duduk di samping rumah, dengan Kaisar dan juga Ibunya.

"Mas Kaisar."

"Hm?" Kaisar menoleh.

"Tuan tuh harusnya dibawa ke psikiater, tau.." Ujar Laras serius, sambil mengunyah kripik kentang yang memiliki jargon life is never flat.

"Iya, saya tau. Setelah Tuan gagal bunuh diri, semua orang di rumah ini juga jadi lebih kebuka matanya. Bahkan Nyonya Irma yang tadinya gak kepikiran sampai ke sana, udah mikirin sekarang. Sering ngebujuk Tuan juga biar mau. Tapi kan kamu tau sendiri, Tuannya yang gak mau. Kalau dipaksa, ntar dia malah marah." Kaisar menjelaskan.

Laras memandang lurus agak mengawang, membenarkan rambut yang baru saja tertiup angin musim hujan. "Kemarin malem Tuan kambuh lagi, Mas.." Ungkapnya pelan.

"Kayak gimana?" Tanya Kaisar cepat.

"Yang takut-takut itu..."

"Takut apa katanya? Terus gimana? Gak kamu marahin, kan?"

"Ya ampun masa dimarahin... malah saya tuh kasihan banget, Mas ngeliat Tuan kayak gitu." Laras berucap penuh prihatin. "Kemarin katanya Tuan takut kalau dia kena usus buntu lagi soalnya perutnya agak sakit." Sambungnya.

Kaisar menghela napas, "Tuan tuh kalau udah takut sesuatu gak karuan banget. Bisa sampai gemeteran keringet dingin gitu." Sahutnya bernada rendah.

"Iya. Saya baru pertama kali lihat Tuan kayak gitu. Anxiety ya, Mas istilahnya?"

Kaisar mengangguk mengiyakan. "Saya pernah searching masalah anxiety disorder, dan dari ciri-cirinya Tuan sih kayaknya emang itu. Tapi bisa juga PTSD. Tapi di dalam PTSD, anxiety termasuk ciri-cirinya. Terus di ciri-ciri PTSD tuh.. kayak 90% ada semua di Tuan. Tapi gak ngerti juga deh, siapa tau bipolar? Haduh.. saya bukan ahli psikologi." Kaisar pusing sendiri.

Laras pun ikut bingung dan pusing. "Kasihan ya, Mas?"

"Iya, Ras. Tapi mau gimana lagi, kita cuma bisa nenangin aja. Kasihan Tuan.. pasti rasanya gak enak banget."

"Iya, Mas."

"Dulu Tuan gak kaya gini, pokoknya semenjak itu..." Kaisar menghela napas. Membicarakannya saja lelah, apalagi Michael yang mengalaminya.

Tiba-tiba, Bu Susi ingin nimbrung, setelah sejak tadi hanya mendengarkan obrolan anaknya dan Laras. "Yang penting kita sabar ngadepin dia, dibaik-baikin. Jangan dimarahin, jangan buat adrenalisnya naik."

"Adrenalin, Bu.." Kaisar mengoreksi.

"Iya, itu.. adrenalin. Soalnya ada temen saudara Ibu, kayak Tuan juga.. jadi tempramen, kasar, terus sering takut-takut dam cemas-cemas juga gara-gara trauma. Bahkan dia sampai pingsan kalau udah kambuh. Tapi dia gak mau dibawa berobat. Jadi akhirnya cuma itu.. dibaik-baikkin, disabarin, ditenangin baik-baik, terus jangan suka disalah-salahin.. soalnya perasaan orang-orang kayak gitu sensitif banget." Bu Susi menjabarkan.

"Terus berhasil, Bu? Udah sembuh?" Laras penasaran.

"Sekarang udah sembuh, udah gak suka cemas-cemas dan takut-takut lagi. Emang masih panikan sih orangnya. Tapi udah gak kaya dulu, udah lebih ceria. Memang agak lama sih sembuhnya.. 5 tahun lebih." Bu Susi menjelaskan lagi.

UNSTABLE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang